PERJUMPAAN ISLAM DENGAN BUDAYA SUNDA
PENDAHULUAN
Sunda menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu bercahaya, terang benderang; nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam; nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda; satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana; Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih; Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau jawa yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.
Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda[1].
Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala di Ciampea (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia betapapun sederhananya.
Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Fenomena seperti ini menjadi hal yang wajar dan terjadi setiap daerah dimana Islam masuk[2]. Di daerah Jawa Barat yang yang menjadi daerah suku Sunda, proses ini berlangsung dengan bantuan salah seorang wali songo yaitu Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah (Cirebon) dan keberadaan kerajaan Banten. Terjadinya proses transformasi antara kebudayaan leluhur Sunda dengan agama “baru” (Islam) menghasilkan suatu agama yang lebih toleran dan penganutnya tidak harus meninggalkan kebudayaan leluhurnya. Yang terjadi adalah proses perbaikan sistem sosial masyarakat Sunda dengan adanya nilai-nilai yang diberikan oleh agama Islam.
MASA ANIMISME DAN DINAMISME
Pada umumnya, mencerminkan agama orang Jawa. Perbedaan yang penting adalah kelekatan yang lebih kuat kepada Islam dibanding dengan apa yang dapat kita temukan di antara orang Jawa. Walaupun kelekatan ini tidak sedahsyat rakyat Madura atau Bugis, namun cukup penting untuk mendapat perhatian khusus bila kita melihat sejarah orang Sunda.
Salah satu aspek sangat penting dalam agama-agama orang Sunda adalah dominasi kepercayaan-kepercayaan pra-Islam. Kepercayaan itu merupakan fokus utama dari mitos dan ritual dalam upacara-upacara dalam lingkaran kehidupan orang Sunda. Upacara-upacara tali paranti (tradisi-tradisi dan hukum adat) selalu diorientasikan terutama di seputar penyembahan kepada Dewi Sri (Nyi Pohaci Sanghiang Sri). Kekuatan roh yang penting juga adalah Nyi Roro Kidul, tetapi tidak sebesar Dewi Sri. Ia adalah ratu laut selatan sekaligus pelindung semua nelayan. Di sepanjang pantai selatan Jawa, rakyat takut dan selalu memenuhi tuntutan dewi ini hingga sekarang. Contoh lain adalah Siliwangi. Siliwangi adalah kuasa roh yang merupakan kekuatan dalam kehidupan orang Sunda. Ia mewakili kuasa teritorial lain dalam struktur kosmologis orang Sunda[3].
Mantera-mantera Magis
Dalam penyembahan kepada ilah-ilah ini, sistem mantera magis juga memainkan peran utama berkaitan dengan kekuatan-kekuatan roh. Salah satu sistem tersebut adalah Ngaruat Batara Kala yang dirancang untuk memperoleh kemurahan dari dewa Batara Kala dalam ribuan situasi pribadi. Rakyat juga memanggil roh-roh yang tidak terhitung banyaknya termasuk arwah orang yang telah meninggal dan juga menempatkan roh-roh (jurig) yang berbeda jenisnya. Banyak kuburan, pepohonan, gunung- gunung dan tempat-tempat serupa lainnya dianggap keramat oleh rakyat. Di tempat-tempat ini, seseorang dapat memperoleh kekuatan-kekuatan supernatural untuk memulihkan kesehatan, menambah kekayaan, atau meningkatkan kehidupan seseorang dalam berbagai cara.
Dukun - dukun
Untuk membantu rakyat dalam kebutuhan spiritual mereka, ada pelaksana- pelaksana ilmu magis yang disebut dukun. Dukun-dukun ini aktif dalam menyembuhkan atau dalam praktek-praktek mistik seperti numerology (penomoran). Mereka mengadakan kontak dengan kekuatan-kekuatan supernatural yang melakukan perintah para dukun ini. Beberapa dukun ini akan melakukan black magic tetapi banyaknya adalah jika dianggap sangat bermanfaat bagi orang Sunda. Sejak lahir hingga mati hanya sedikit keputusan penting yang dibuat tanpa meminta pertolongan dukun. Kebanyakan orang mengenakan jimat-jimat di tubuh mereka serta meletakkannya pada tempat-tempat yang menguntungkan dalam harta milik mereka. Beberapa orang bahkan melakukan mantera atau jampi-jampi sendiri tanpa dukun. Kebanyakan aktivitas ini terjadi di luar wilayah Islam dan merupakan oposisi terhadap Islam. Tetapi orang-orang ini tetap dianggap sebagai Muslim.
PENGARUH HINDUISME
Tidak seorang pun yang tahu kapan persisnya pola-pola Hindu mulai berkembang di Indonesia, dan siapa yang membawanya. Diakui bahwa pola- pola Hindu tersebut berasal dari India; mungkin dari pantai selatan. Tetapi karakter Hindu yang ada di Jawa menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawabannya. Misalnya, pusat-pusat Hindu yang utama, bukan di kota-kota dagang di daerah pesisir tetapi lebih di pedalaman. Tampaknya jelas bahwa ide-ide keagamaanlah yang telah menaklukkan pemikiran orang pribumi, bukan tentara. Sebuah teori yang berpandangan bahwa kekuatan para penguasa Hindu/India telah menarik orang-orang Indonesia kepada kepercayaan-kepercayaan roh magis agama Hindu. Entah bagaimana, banyak aspek dari sistem kepercayaan Hindu diserap ke dalam pemikiran orang Sunda dan juga Jawa.
Karya sastra Sunda yang tertua yang terkenal adalah Caritha Parahyangan. Karya ini ditulis sekitar tahun 1000 dan mengagungkan raja Jawa Sanjaya sebagai prajurit besar. Sanjaya adalah pengikut Shivaisme sehingga kita tahu bahwa iman Hindu telah berurat dan berakar dengan kuat sebelum tahun 700. Hinduisme tidak pernah digoyahkan oleh bagian daerah lain di pulau Jawa dan tetap kuat hingga abad 13. Struktur kelas yang kaku berkembang di dalam masyarakat. Pengaruh Sansekerta menyebar luas ke dalam bahasa masyarakat di pulau Jawa. Gagasan tentang ketuhanan dan kedudukan sebagai raja dikaburkan sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
Di antara orang Sunda dan juga orang Jawa, Hinduisme bercampur dengan penyembahan nenek moyang kuno. Kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian salah seorang anggota keluarga masih berlangsung hingga kini. Pandangan Hindu tentang kehidupan dan kematian mempertinggi nilai ritual-ritual seperti ini. Dengan variasi-variasi yang tidak terbatas pada tema mengenai tubuh spiritual yang hadir bersama-sama dengan tubuh natural, orang Indonesia telah menggabungkan filsafat Hindu ke dalam kondisi-kondisi mereka sendiri.
J. C. van Leur berteori bahwa Hinduisme membantu mengeraskan bentuk-bentuk kultural suku Sunda. Khususnya kepercayaan magis dan roh memiliki nilai absolut dalam kehidupan orang Sunda. Salah seorang pakar adat istiadat Sunda, Prawirasuganda, menyebutkan bahwa angka tabu yang berhubungan dengan seluruh aspek penting dalam lingkaran kehidupan perayaan-perayaan suku Sunda sama dengan yang ada dalam kehidupan suku Badui.
PERJUMPAAN ISLAM DENGAN TRADISI SUNDA
Ajaran Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang dan komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan tradisi yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara adat dan syariah seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena para penyebar Islam dalam tahap awal menggunakan strategi dakwah akomodatif dengan mempertimbangkan sistem religi yang telah ada sebelumnya.
Masuknya Islam Ke Tatar Sunda
Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya.
Di tatar Sunda, menurut naskah “Carita Parahiyangan” diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy.
Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15.
Dari Sunda Wiwitan Ke Sunda Islam
Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).
Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.
Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.
Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.
Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.
Madrais dan Aliran Perjalanan
Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.
Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.
Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.
Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku “Budi Daya” tahun 1935 yang dijadikan ‘kitab suci’ oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.
Beberapa Hal yang Dilahirkan dari Perjumpaan Islam dengan Budaya Sunda :
Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.
Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.
Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan
Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.
Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.
KESENIAN SUNDA
Secara umum Kesenian sunda terdiri dari : Angklung (30 jenis), Beladiri (10 jenis), Celempungan (6 jenis), Debus (15 jenis), Gamelan (16 jenis), Helaran (24 jenis), Ibing (17 jenis), Kacapian (20 jenis), Macakal (18 jenis), Mawalan (7 jenis), Ngotrek (10 jenis), Pantun (6 jenis), Sandiwara (27 jenis), Terbangan (18 jenis), Topeng (8 jenis), Sekar (15 jenis), Wayang Orang (5 jenis), Wayang Golek (9 jenis), Wayang Kulit (7 jenis)[4].
Kuda Renggong
Kauda Renggong merupakan seni kuda silat favorit di masyarakat sunda khususnya masyarakat Sumedang. Kemahiran kuda renggong juga membangkitkan fanatisme serta kekeluargaan di antara komunitas. Seni Kuda Renggong menjadi ikon seni rakyat Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Biasanya kelompok pendukung atau komunitas seni Kuda Renggong maupun Kuda Silat akan menggunakan nama kelompok atau grup seni Kuda Renggong ataupun Kuda Silat favorit mereka.
Wayang Golek
Pertunjukan wayang biasanya dilakukan pada saat adanya kenduri baik kawinan maupun hajatan sunatan, Agustusan atau karena hal tertentu (bisanya ini dinamakan ruwatan). Waktunya bisa semalam suntuk atau hanya beberapa jama saja. Isi ceritanya ada yang menganut prinsip galur (diambil secara utuh berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata) dan ada yang menggunakan prinsip sempalan (mengambil bagian-bagian tertentu yang biasanya menarik penonton seperti; peperangan, dan dialog humor).
Pertunjukan wayang yang menggunakan prinsip galur waktunya semalam suntuk sedangkan yang sempalan biasanya hanya satu sampai dua jam saja. Dalam kondisi masyarakat yang aktivitas sosialnya tinggi dan menuntut waktu serba cepat, maka pertunjukan yang singkat tapi padat ceritanya dan dialog humornya menarik akan sangat diminati dibandingkan yang menggunakan jalan cerita prinsip galur dengan lama hingga waktu subuh. Bagi masyarakat dari golongan generasi tua dan fanatic terhadapprinsip galur wayang ia akan menyenangi jalan cerita aslinya walaupun ia dengar dan lihat berulang-ulang. Tapi, bagi generasi muda yang haus hiburan serba instant, maka cerita-cerita sempalan adalah paling disukai.
Menurut R.Gunawan Djajakusumah terdapat 623 tokoh wayang dalam satu pertunjukan biasanya menghadirkan antara 20 sampai 30 boneka wayang dan yang sering muncul kebanyakan figur-figur yang akrab di masyarakat seperti; arjuna, pandawa lima khsusnya si Cepot, gatotkaca, bima, rahwana, dan anggota pasukan Kurawa.
Gamelan
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Angklung
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari angklung memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada maka angklung cepat berkembang tidak saja dipertunjukkan pada kelompok local tapi juga dipertunjukkan pada kelompok regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah dipertunjukan didepan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung pada tahun 1955.
Jumlah pemain angklung antara satu orang sampai banyak orang bahkan bisa dimainkan pada kelompok 50 orang sampai 100 orang dan dapat diintegrasikan dengan alat lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dll Atau pertunjukannya dapat dikombinasikan dengan kelompok; band, dan orkestra.
Kacapi
Kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi di balik kacapi indung, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.
Kacapi indung adalah jenis alat musik berdawai (chordophone) berbentuk bar zither yang digunakan untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Kacapi indung memiliki delapan belas utas dawai. Pada bagian ujung sebelah kanan dan kiri kacapi indung terdapat bentuk setengah lingkaran yang menyerupai sanggul (gelung). Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonator yang berfungsi sebagai pengeras bunyi. Di samping itu, lubang resonator juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mengikatkan dawai ke bagian ujung pureut. Sementara di tengah-tengah bagian depan kacapi indung terdapat delapan belas pureut untuk menyetem nada dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan atau kiri. Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa silogisme sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dapat dibuktikan kebenarannya.
Jaipong
Menyebut Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.
PENUTUP
Demikian uraian singkat mengenai perjumpaan Islam dengan budaya Sunda beserta kesenian yang tercatat di tatar sunda. Eksplorasi kebudayaan pasundan tentunya tidaklah cukup hanya dengan satu makalah, sehingga asih banyak kekurangan dalam konten makalah ini. Terimakasih atas perhatiannya, semoga bermanfaat.
REFERENSI
Ekadjati, Edi S. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar