Pages

Sabtu, 03 Desember 2011

Hukum Perkawinan Adat


HUKUM PERKAWINAN ADAT
Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, perceraian dan harta perkawinan. Dalam hukum adat hukum perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki deangan seorang atau beberapa orang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi.
Menurut hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang yang kawin, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat, dan kasta. Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya melanjutkan garis hidup orang tuanya. Bagi suku, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku itu dengan tertibnya.
Bagi masyarakat (persekutuan), perkawinan juga merupakan sutu peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut mempunyai tanggungjawab penuh terhadap persekutuannya. Bagi kasta, perkawinan juga penting, karena kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya dengan mengadakan tertib perkawinannya sendiri.
Oleh karena perkawinan ini memiliki arti yang sangat penting, maka pelaksanaannya senantiasa disertai dengan upacara-upacara adat, kadang lengkap dengan sesajen-sesajennya. Agar mempelai berdua selamat mengarungi hidup baru sampai akhir hayatnya atau sering disebut dengan sampai kaken-kaken dan ninen-ninen. Segala upacara-upacara ini merupakan upacara peralihan, upacara yang melambangkan perubahan status dari mempelai berdua; yang tadinya hidup berpisah, setelah melalui upacara-upacara itu menjadi hidup bersama dalam suatu keluarga (somah) sebagai suami istri. Semula mereka milik orang tuanya, kemudian menjadi keluarga mandiri.
UNSUR-UNSUR HUKUM PERKAWINAN ADAT
1)      Peminangan
Meminang berafrti permintaan yang menurut hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan. Biasanya dilakukan oleh pihak pria kepada wanita.
2)      Pertunangan
Pertunangan ialah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak pria dan orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan. Dalam hal ini nampaknya masuk pula pengaruh kebudayaan Barat dimana peresmian pertunangan itu disertai acara tukar cincin. Walaupun menurut adat kebiasaan di kalangan masyarakat adat ini tidak membawa akibat hukum bagi hukum adat itu sendiri.
3)      Perkawinan
SISTEM PERKAWINAN
Dalam hukum adat, umumnya terdapat 3 macam sistem :
1.      Endogami, sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari sukunya sendiri. Sistem semacam ini antara lain terdapat di daerah Toraja atau di daerah yang masih menghargai darah kebangsaan.
2.      Exogami, sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari luar sukunya. Sistem semacam ini antara lain masih terdapat pada suku bangsa Batak, Gayo, Alas, dan Sumatra Selatan.
3.      Eleutherogami, sistem perkawinan dimana seseorang diperbolehkan kawin dengan orang dari dalam dan luar sukunya. Sistem semacam ini antara lain terdapat di Jawa, Madura, Bali, Lombok, Timor, Minahasa, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Aceh, Sumatra Timur, Bangka dan Belitong.
SIFAT PERKAWINAN
Di sebagian besar daerah Indonesia berlaku adat kebiasaan bahwa upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga mempelai wanita, meskipun adakalanya dilakukan di tempat keluarga mempelai pria.  Mengenai tempat tinggal suami istri setelah upacara perkawinan, dalam hokum adat dikenal berbagai macam cara tergantung sifat perkawinannya  :
1.      Perkawinan patriokal, perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin pria (antara lain di Batak).
2.      Perkawinan matrilokal, perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin wanita (anatara lain terdapat di Minangkabau dan Lampung/semenda negeriken)
3.      Cara lain ialah, upacara dilaksanakan di tempat keluarga memplai wanita atau pria, tetapi setelah itu kedua suami istri ini kemudian berumah tangga sendiri terpisah dari keluarga istri atau suaminya.

4)      Acara perkawinan Adat
Perkawinan adat di berbagai lingkungan msayarakat adat di Indonesia acara pelaksanaannya berbeda-beda, dikarenakan perbedaan adat kekerabatan dan bentuk perkawinan yang dilakukan. Maka disini akan dikemukakan contoh acara perkawinan adat yang berlaku di beberapa lingkungan masyarakat adat[1].
Ø  Perkawinan Adat Batak
Di lingkungan masyarakat adat batak dalam perkawinan berlaku adat naso gok, yaitu tata cara perkawinan antar pria dan wanita tanpa melalui acara peminangan karena mangalua[2]. Dan adat na gok, yaitu dengan peminangan disertai upacara terpasu-pasu. Kemudian mahursip/mahuri-huri yaitu persiapan perkawinan. Dengan membicarakan uang jujur (Tuhoi) dan pulung saut yaitu pihak pria mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya. Kemudian pihak wanita membagikan jambar[3] kepada marga ibu (hula-hula), marga ayah (dongan tubu) dan orang-orang tua (pengetuai).
Proses perkawianannya, melalui Tnting I[4], Tinting II[5] dan Tinting III (manjalu pasu-pasu : sah nya perkawinan). Makan bersama, penerimaan hadiah dari hadirin yang kemudian dibagikan kepada kerabat yang disebut merbagi jambar dijabu. Kemudian mangihut di ampang yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat pria, dengan diiringi bakul tertutup ulos yang berisi bahan makanan.
Ø  Perkawinan Adat Minangkabau
Masyarakat adat Minang, jika bujang gadis sudah berkenalan, maka penjajakkan dan peminangan dilakukan oleh orang tua. Bisa dilakukan oleh mamak dari pria atau wanita, dan biaya perkawinan ditanggung oleh keluarga yang meminang (sia datang sia kanai). Di Pariaman, pihak wanita harus memenuhi permintaan pihak pria, kemudian acara menjapui dengan memakai 7 keris, 7 batu cincin berwarna, 7 tepak sirih, dan 7 kembang. Kerabat wanita menyambut kedatangan pria dengan ditandai tembakan senjata api 7 kali, diiringi seni pencak silat dan tari piring. Acara perkawinan dilakukan di mesjid, mempelai pria diakadnikahkan dengan ijab kabul dengan wali mempelai wanita, dan mempelai wanita tidak perlu hadir di mesjid.
Ø  Perkawinan Adat Palembang
Dalam prosesi memadik (meminang), pihak pria diharuskan membawa tenong[6]. Maka jika pihak wanita melihat beberapa orang membawa tenong, biasanya sudah mengerti bahwa maksudnya adalah untuk memadik. Untuk menjawab pinangan pihak pria, maka pihak wanita merundingkannya dengan keluarga, jika diterima, pihak wanita harus mengirimkan utusan kepada pihak pria untuk menyatakan bahwa pinangan diterima. Jika tidak ada utusan maka pinangan ditolak. Bila kedua belah pihak sepakat dalam hal persyaratan yang dirundingkan, maka pihak pria akan mengirim utusan sebanyak 7 orang untuk mutus rasan dan menyampaikan tanda pengikat berupa kain, baju, dan selendang dan membicarakan gawe nak dimulai.
Kemudian, pihak pria melakukan adat berangkat dengan membawa sejumlah uang hangus, 12 nampan bahan-bahan untuk membuat kue dan makanan, 6 nampan kain songket, 1 nampan lapis mas kawin (dodot), 6 nampan manggis-manggisan yang terbuat dari kertas dan diisi uang. Yang nantinya dikembalikan lagi kepada pihak pria dengan diisi oleh kue-kue. Jika adat berangkat tidak bisa dilaksanakan, maka dilakukan dengan buntel kadut[7].
Menjelang hari perkawinan, berlaku adat ngocek bawang kecik, ngocek bawang besak, saampai pada hari munggah, yaitu hari pelaksanaan perkawinan. Kedua mempelai menggunakan penganggon[8], akad nikah dilaksanakan di tempat pria. Selesai akad nikah, pria membawa bungo langsi, diiring beramai-ramai ke tempat wanita. Disambut dengan siraman beras kunyit, lalu pria dipersilakan masuk ke kamar mempelai wanita. Kemudian sepah pingang/ sirih pengantin. Kostum pengantin menggunakan kain songket dan gondik (mahkota siger) dikepalanya, sedang pria menggunakan  kain songket dengan ikat pending emas tanpa baju tetapi berselendang dan mahkota pasingkong di kepalanya.
Ø  Perkawinan Adat Lampung
Ada 2 jenis adat yaitu peminggir yang berlaku di masyarakat adat Krui, Ranau, Komering samapi kayuagung. Dan pepadun yang berlaku Abung, Pubiyan, Waykanan-Sungkai, dan Tulangbawang. Tatacara dan perkawinan adat pepadun pada umumnya berdasarkan kesepakatan, bisa dengan cara adat hibal serba, bumbang aji, intar padang, intar manom, dan sebambangan.
Hibal serba, dimulai dengan acara pineng dan nunang serta nyamban dudul (memberi dodol) oleh pihak pria kepada pihak wanita. Tempat upacara begawai cakak pepadun di sesat (balai adat). Sebelum upacara mengambil mem[elai dari rumahnya masing-masing, keduanya harus sudah lengkap berpakaian adat. Pria memakai sarung, bidak, sakelang, selappai pinang, sabik inukh, sabik rial, gelang burung, kopiah mas, keris, buah manggus, sedangkan wanita menggunakan tapis balak, rambai ringgit, bungo seretti, bubbet ringgit, sabik inukh, gelang melayu, gelang mekkah, gelang ruwei, gelang kanou, siger, kipas, dll.
Bumbang aji, upacara yang pihak wanita cukup melepas anaknya dengan upacara sederhana, misalnya hanya menyembelih kambing. Dan mempelai pria yang datang mengambil hanya berpakaian kain, berjas dan peci atau kikat akkin (ikat kepala kain Lampung) atau berpakaian Haji.
Sebambangan, belarian bujang gadis untuk mengikat perkawinan berdasarkan kehendak mereka sendiri. Yang merupakan perbuatan yang melanggar adat dan berakibat dikenakan hukuman/denda. Penyelesaiannya bukan lagi dengan lamaran, akan tetapi  dengan permintaan maaf dari pihak pria kepada pihak wanita, dimana sudah tidak ada kekuatan yang mengikat untuk meminta uang adat, dll. Karena si wanita sudah berada di pihak pria. 
Ø  Perkawinan Adat Pasundan
Dalam lingkungan masyarakat Pasundan (Jawa Barat) dimulai dengan nuendeun omong yaitu perundingan pihak pria dan wanita yang berwujud penyampaian peminangan. Jika disepakati maka selanjutnya adalah panyancang yaitu tanda pengikat pertunangan pria dan wanita yang bersangkutan. Sebelum akad nikah dilakukan ngeujeuk seureuh kemudian miceun seureuh ka jarian. Akad nikah dilakukan di mesjid, setelah akad saweran (uang logam dan beras) dengan diiringi nyanyian sunda yang dilantunkan oleh seorang tukang sawer. 
Setelah itu mempelai wanita berdiri di pendapa rumah dan diberikan kendi berisi air yang dipegangnya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya memegang harupat yaitu obor dengan api menyala, dihadapannya papan alat tenun dan sebuah telur. Setelah semua siap, mempelai pria dipersilakan menginjak telur hingga pecah. Wanita mengangkat harupat dan meniupnya hingga mati sekaligus, lalu berjongkok untuk membersihkan kaki mempelai pria dengan air di kendinya. 
Ø  Perkawinan Adat Jawa
Setelah ada kesepakatan dalam acara lamaran dan pihak wanita telah menerima panjer atau paningset, maka berlakulah masa pertunangan dan ditentukan hari baik untuk melangsungkan perkawinan. Menjelang perkawinan di tempat mempelai wanita, diadakan persiapan dan upacara selamatan pengakhiran masa gembleng, masa menyepikan diri di kamar dan berpuasa beberapa hari sebagai ilo-ilo agar mendapat perlindungan dari para ghaib. Biasanya hal ini dilakukan setelah pihak pria mengantarkan jodangan[9]. Kemudian para penesepuh[10] memandikan mempelai wanita dengan air siraman kembang setaman.  Setelah itu barulah ia dihias terutama bentuk rambut dan mukanya.
Pada malam harinya berlangsung acara midodareni, yaitu acara tirakatan sampai jauh malam yang dihadiri oleh para anggota keluarga dan tetangga. Kemudian esoknya panggih temanten, kedua mempelai saling berhadapan memegang bingkisan sirih jambe sinigar.kemudian melangkahi rintangan atau pasangan yang dilanjutkan dengan ritual injak telur.  Kemudian bertukar kembang mayang dan biasanya dimeriahkan oleh kesenian wayang kulit dan gamelan dibunyikan dengan irama kebo giro[11].
5)      Putusnya perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk dapat melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia, kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai. Namun demikian, walaupun sejak sebelum kawin orang tua/keluarga sudah memberikan petunjuk dalam menilai bibit, bobot dan bebet bakal calon suami istri itu, sejarah rumah tangga seseorang adakalanya mengalami nasib buruk sehingga berakibat terjadinya putusnya perkawinan. Menurut hukium adat yang merupakan sebab-sebab terjadinya perceraian dari suatu perkawinan adalah Perzinahan, Tidak member nafkah, Penganiayaan, Cacat Tubuh/Kesehatan, dan Perselisihan.

DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman,  Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Penerbit alumni, 1982
_____________, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Bandung : Penerbit alumni, 1980
Poesponoto, Soebakti, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980
Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, cet I, Yogyakarta : LKiS, 2004







[1] Hilman Hadikusuma, hukum Perkawinan Adat, Bandung : Penerbit alumni, 1982, hal. 105-110
[2] Wanita sudah berada di pihak pria
[3] Hewan ternak yang sudah disembelih
[4] Pengajuan waktu ke pihak gereja
[5] Orang tua kedua mempelai melakukan martupol, yaitu kesaksian dan tanda tangan persetujuan perkawinan
[6] keranjang yang berisi bahan makanan mentah
[7] Pihak pria hanya membawa sejumlah uang saja tanpa barang-barang dan kain songket
[8] Baju berlengan panjang dan berkain songket
[9] Usungan barang-barang berupa kotak yang berisi bahan makanan mentah termasuk bumbu-bumbu dan ternak yang di antar beramai-ramai.
[10] Wanita berumur yang bertugas mengurus persiapan mempelai.
[11] Irama khusus untuk tamunya temanten

1 komentar:

  1. Korekdi dalam adat perlawonan minagkabau tidak dwmilian halnya. Anda peerlu membaca lagi.

    BalasHapus