Pages

Minggu, 25 September 2011

SHALAT DAN PUASA DI DAERAH KUTUB


SHALAT DAN PUASA DI DAERAH KUTUB

LATAR BELAKANG
Shalat adalah kewajiban individual bagi setiap muslim mukallaf. Urgensi shalat bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Sebagaimana firman Allah Swt :
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An-Nisa : 103)

Konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat (lima waktu) tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadist.
Dalam penentuan waktu shalat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenith. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar (morning twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam dan senja (evening twilight)[1].
Akibat pergerakan semu matahari 23,5° ke Utara dan 23,5° ke Selatan selama periode 1 tahun, waktu-waktu tersebut bergesar dari hari-kehari. Akibatnya saat waktu shalat juga mengalami perubahan. oleh sebab itulah jadwal waktu shalat disusun untuk kurun waktu selama 1 tahun dan dapat dipergunakan lagi pada tahun berikutnya. Selain itu posisi atau letak geografis serta ketinggian tempat juga mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut di atas.

PERMASALAHAN
Dalam aplikasinya, di daerah yang secara geografis adalah kawasan normal seseorang tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankannya. Waktunya telah terjadwal secara pasti dan teratur. Namun hal ini akan berbeda bila kita melihat kondisi di daerah abnormal atau kutub (utara/selatan). Karena secara geografis di sana termasuk kawasan beriklim ekstrim. Di daerah abnormal, adakalanya waktu siang lebih pendek dari waktu malamnya dan adakalanya pula waktu malam lebih pendek dari waktu siangnya. Sedangkan di daerah kutub, di sana matahari tidak melintas di atas kepala selama enam bulan penuh, lamanya siang dan malam  mencapai 6 bulan atau setengah tahun.
Lantas bagaimanakah cara menentukan waktu sholat di daerah yang secara geografis memiliki iklim yang abnormal dan bagaimana pula penentuan waktu shalat dan puasa di kutub utara dan selatan. Simak pembahasan berikut ini.
PEMBAHASAN
1.      Kondisi Alam daerah kutub
Ada 4 posisi (musim) kedudukan matahari di kutub[2] :
1. MARCH EQUINOX (March 21) kedudukan mataharinya 0°
2. DECEMBER SOLSTICE (December 22) kedudukan mataharinya 23 1/2° S
3. SEPTEMBER EQUINOX (Sept. 23) kedudukan mataharinya 0°
4. JUNE SOLSTICE (June 21) kedudukan matahariny 23 1/2° N

Dengan memperhatikan kondisi musim di kutub yang sangat ekstrim maka dalam pergantian siang malamnya pun seperti itu, lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini :
 
Maka akan sulit untuk menentukan waktu shalat pada daerah kutub ini melihat kondisi alamnya yang tidak memungkinkan untuk mengacu pada kedudukan matahari sebagaimana yang tersebut dalam QS. 4: 103
2.      Pandangan Para Ahli dalam Penentuan Waktu Shalat di Daerah Kutub[3]
Untuk menentukan waktu-waktu shalat di daerah kutub para sarjana muslim menguraikan sebagai berikut:
1.      Saadoe’ddin Djambek
Untuk penentuan waktu shalat di daerah kutub dapat diqiyaskan dengan orang yang tertidur atau pingsan. Beliau menguraikan : “Perubahan syafak merah di langit bagian Barat menjadi fajar di langit bagian Timur, berlaku secara tiba-tiba, boleh dikatakan tanpa suasana peralihan, jadi tanpa disadari. Keadaannya boleh diumpamakan seperti hal seorang, yang tertidur di waktu maghrib lalu terbangun di waktu shubuh, atau yang pingsan di waktu maghrib setelah menunaikan shalat dan siuman kembali di waktu shubuh sehingga adanya waktu isya, tidak disadarinya. Ilmu Fiqh mengajarkan, bahwa dalam keadaan yang demikian orang yang bersangkutan setelah terbangun atau sadar kembali, wajib segera melakukan shalat isya, setelah itu shalat shubuh.”[4]
2.      Hamidullah
Dalam bukunya yang berjudul Introduction to Islam, Hamidullah berpendapat bahwa penentuan waktu shalat di daerah yang lintangnya melebihi 45° Utara atau Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45° saja dan bujurnya tidak berubah. Contohnya Bandar Oslo di Norway (φ=59,5°LU, λ=10,45° BT) waktu shalat yang digunakan adalah waktu yang posisi geografisnya φ=45° LU, λ=10,45° BT.
3.      Majelis Syari’ah Rabitah al-‘Alam al-Islamy (1982)
Majelis ini berpendapat bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari atau sebaliknya, maka jadwal shalat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu Isya dan Shubuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat maghrib dan mega merah saat shubuh. Sementara itu kawasan yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syari’at Islam.   
4.      Seminar Islam di Islamic Centre, London (Mei 1984)
Setelah melakukan kajian dari aspek syar’I dan sains, seminar ini memutuskan hal-hal sebagai berikut:
·         Bagi wilayah yang masih mengalami pergantian siang dan malam secara jelas, waktu shalat didasarkan sesuai ketentuan syara’
·         Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) maka untuk menentukan waktu Isya dan shubuh berdasarkan lintang 48° Utara atau Selatan.
·         Bagi mereka yang kesulitan menunggu waktu isya karena tidak mengalami hilangnya mega merah dapat melakukan jamak taqdim antara shalat maghrib dan isya.
5.      Majelis Fatwa al-Azhar asy-Syarif
·         Pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Misalnya mengikuti Saudi Arabia
Fatwa ini didasarkan pada hadist Nabi saw. Ketika menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban shalat di daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan setahun. Wahai Rasulullah, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja, Rasulullah menjawab “tidak” tap perkirakanlah sebagaimana kdarnya(hari-hari biasa). (HR. Muslim)[5]
6.      Dr. Thomas Djamaluddin
Menurut Thomas Djamaluddin[6] dalam bukunya Menggagas Fiqh Astronomi, Untuk daerah dengan lintang lebih dari 48° pada musim panas senja dan fajar bersambung (continous twilight) sehingga waktu isya dan shubuh diqiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya[7].
Kemudian beliau berpendapat bahwa di lintang 45°, pada musim panas, fajar sekitar pkl. 01.06 dan magrib pkl. 19.52 dan jika berpuasa lamanya 18 jam 46 menit. Di lintang 60°, pada musim panas senja bersambung fajar kondisi tidak normal (tidak ada gelap malam) waktu isya dan shubuh mengikuti waktu normal sebelumnya (berdasarkan jam). Fajar pkl. 00.34 dan magrib 21.29 sehingga puasa sekitar 21 jam.
Sedangkan di lintang 70° pada musim panas, senja bersamung dengan fajar (tidak ada batasan waktu isya dan shubuh) dan matahari tidak pernah terbenam (tidak ada bataan waktu magrib), waktu puasa 00.44 - 23.20. Dan pada musim dingin  matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu dzuhur, asar, dan magrib), waktu puasa 06.22-12.05.
Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan waktu shalat seluruh dunia, kita tinjau tanggal 1 Januari yang deklinasi mataharinya 23° Selatan. Waktu itu adalah pertengahan musim dingin di belahan bumi Utara dan pertengahan musim panas di belahan Selatan. Waktu yang digunakan ialah waktu surya untuk mempermudah memperoleh ikhtisar karena menurut waktu surya matahari berkulminasi atas tepat pkl. 12.00 dan berkulminasi bawah tepat pkl. 24.00.

IKHTISAR WAKTU SHALAT SEDUNIA
Tanggal 1 Januari, Deklinasi matahari : 23° Selatan
Lintang
Subuh
Syuruq
Dzuhur
Ashar
Maghrib
Isya
Bagian Bumi Utara
 87°
12:00
 -
86
9:03
 -
 -
 -
 -
 -
85
8:48
 -
 
 -
 -
12:00
83
8:21
 -
 -
 -
 -
15:01
72
6:24
 -
 -
 -
 -
17:09







70
6:18
 -
 -
 -
 -
17:17
68
6:19
12:00
12:00
12:00
12:00
17:26
66
6:09
10:20
12:00
12:47
13:40
17:31
64
6:05
9:43
12:00
12:49
14:17
17:36
50
5:43
7:54
12:00
14:20
16:06
18:04







49
5:42
7:49
12:00
14:25
16:11
18:05
48
5:41
7:45
12:00
14:30
16:15
18:09
47
5:39
7:41
12:00
14:34
16:19
18:09
46
5:38
7:37
12:00
14:39
16:23
18:10
45
5:37
7:34
12:00
14:43
16:26
18:12







44
5:36
7:30
12:00
14:47
16:30
18:13
Bagian Bumi Selatan
 44°
1:20
4:17
12:00
17:20
19:43
22:05
45
1:13
4:13
12:00
17:22
19:47
22:16
46
0:52
4:09
12:00
17:24
19:51
22:29
47
0:00
4:04
12:00
17:26
19:56
22:45
48
4:00
12:00
17:28
20:00
23:07







49
 -
3:55
12:00
17:31
20:05
24:00
50
 -
3:50
12:00
17:33
20:10
64
 -
1:36
12:00
18:13
22:24
 -
66
 -
0:00
12:00
18:21
24:00
 -
68
 -
 -
12:00
18:31
 -
 -







72
 -
 -
12:00
18:57
 -
 -
81
 -
 -
12:00
21:44
 -
 -
82
 -
 -
12:00
23:05
 -
 -
83
 -
12:00
 -
Kondisi daerah musim panas  (kutub selatan)
·         Siang lebih panjang daripada malam
·         Lintang 66°, matahari tidak terbit dan tidak terbenam, siang hari berlangsung 24 jam penuh (karena tidak ada malam, maka shalat maghrib, isya dan subuh dilaksanakan sebelum shalat dzuhur)
·         Lintang 83°, tidak ada waktu ashar karena lingkaran edar matahari hampir benar-benar sejajar dengan lingkaran ufuk.
·         Yang bertahan sampai di kutub selatan hanya waktu dzuhur. Karena dekat sekali dengan kutub, sebenarnya susah menentukan posisi matahari pada waktu dzuhur. Karena matahari kelihatan berputar disekeliling kita.
·         Puasa hanya bisa dilakukan pada lintang 47°. Puasa terpanjang lamanya 19 jam 56 menit.
Kondisi daerah musim dingin (kutub utara)
·         Malam lebih panjang daripada siang, semakin ke Utara semakin pendek siangnya dan malam semakin panjang
·         Lintang 68°, matahari tidak terbit dan tidak terbenam, tidak ada waktu dzuhur, ashar dan maghrib. Malam hari panjangnya 24 jam.
·         Puasa tidak dapat dilakukan pada tempat yang lintangnya lebih dari 68°, awal fajar ada namun matahari tidak pernah terit dan tidak pernah terbenam.hari puasa terpendek dicapai oleh tempat berlintang 65° yang lama puasanya 5 jam 46 menit[8].

SIMPULAN
Bagi daerah kutub yang abnormal dan ekstrim, maka dalam melaksanakan kewajiban shalat 5 waktu dan juga puasa dapat diperincikan sebagai berikut:
1. Hukum kawasan I (45-48° LU-LS)
Dalam menentukan waktu shalat hendaknya penduduk di daerah menyesuaikan dengan waktu-waktu yang disyariatkan (mengikuti peredaran matahari), begitu pula dengan waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan barang siapa yang tidak mampu menyelesaikan ibadah puasanya karena terlalu panjang waktu siangnya, maka boleh berbuka dan menggantinya pada waktu yang lain.
2. Hukum kawasan II (48-66° LU-LS )
Waktu shalat isya dan fajar adalah dianalogikan dengan waktu terdekat, dan مجلس المجمع mengusulkan agar disamakan dengan waktu pada daerah 45°.
3. Hukum kawasan III (66°-up LU-LS)
 Penentuan waktu shalat dikira-kirakan dengan waktu pada kawasan I (45°). Sederhananya bisa dikira-kira berapa jam jarak antara Shubuh – Dhuhur - Ashar - Maghrib – Isya’.
Sedangkan pendapat lainnya penentuan waktu shalat didasarkan pada daerah terdekat atau disesuaikan dengan Makkah dan Madinah  (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq).

PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang pelaksanaan shalat dan puasa di daerah kutub yang dapat saya susun yang tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran dari pihak yang terkait dalam hal ini sangat saya nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
·         Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, cet II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah, 2007
·         Djamaluddin, Thomas, Menggagas Fiqh Astronomi Telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, cet I, Bandung: Kaki Langit, 2005
·         Djambek, Saadoe’ddin, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
·         www.eramuslim.com
·         http://archive.kaskus.us/


[1] Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi Telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, cet I, Bandung: Kaki Langit, 2005, hal. 137
[2] http://archive.kaskus.us/
[3] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, cet II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah, 2007, hal. 70-71
[4] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 17
[5] www.eramuslim.com
[6] Peneliti utama Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Barat, Anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI.
[7] Thomas Djamaluddin, op. cit hal. 139
[8] Saadoe’ddin Djambek,  Shalat dan puasa di daerah kutub, hal. 20-23

1 komentar:

  1. alhamdulillah nambah pengetahuan, inilah yg saya prtanyakan koq universalitas islam bisa minus klo di kutub. tp inilah ijmanya

    BalasHapus