Pages

Minggu, 25 September 2011

FIQH : PENYEMBELIHAN HEWAN


BAB I
PENDAHULUAN
Kenapa Pemotongan Hewan Secara Islam dilakukan dengan cara disembelih? Bukankah ini kejam dan menyiksa? Lihat saja binatang itu, menggelepar-gelepar!!!
Bagi Anda yang seorang Vegetarian, bisa jadi anda akan beranggapan seperti itu. Seperti kita ketahui, apabila ada Syaraf yang ada di tubuh kita terpotong atau rusak, maka tubuh takkan bisa merespons.
Dengan demikian, apabila seluruh Saluran syaraf yang ada di leher dipotong, maka tubuh akan kehilangan seluruh inderanya.. Termasuk indera perasa. Dengan demikian takkan menyiksa hewan tersebut. Adapun binatang itu menggelepar, itu karena tubuh kehilangan seluruh zat penting secara mendadak, sehingga membuat tubuh kejang. Demikian pula hewan tersebut, bukan menggelepar karena kesakitan, tapi karena kehilangan banyak zat yang dipasok darah, sehingga kejang (menggelepar). Tajamkanlah benda yang akan digunakan untuk memotong hewan tersebut.. Dengan demikian akan semakin cepat mati. Dan tidak menyiksa.
Sehingga Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar…!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syariat Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi ‘keterkejutan otot dan saraf’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu!
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang Penyembelihan (Dzakaat), pengertian, tata cara penyembelihan, apa saja yang harus dipersiapkan sebelum menyembelih, bagaimana hukumnya dan lain-lain..

BAB II
PEMBAHASAN




1.      PENGERTIAN PENYEMBELIHAN HEWAN (DZAKAAT)
“Sembelihan’ dalam istilah Fiqh disebut “Dzakaat” yang berarti baik atau suci. Dipakai istilah dzakaat untuk sembelihan karena dengan penyembelihan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ akan menjadikan binatang yang disembelih itu baik,suci dan halal dimakan. Jika seekor binatangtidak disembelih terlebih dahulu, maka binatang itu tidak halal dimakan.[1]
 Yang dimaksud dengan sembelih atau penyembelihan hewan adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda yang tajam ke arah urat leher dan saluran pernafasan. Dengan kata lain mematikan binatang agar halal dimakan dengan memotong tenggorokan dan urat nadi pokok di lehernya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Penyembelihan disebut dzakah karena ibahah syar’iyah (pemubahan secara syar’i) dapat menjadikan binatang yang disembelih itu menjadi baik.
Yang dimaksud disini ialah penyembelihan binatang secara syar’i, karena sesungguhnya hewan yang halal dimakan tidak boleh dimakan sedikit pun darinya kecuali disembelih terlebih dahulu, terkecuali ikan dan belalang.[2]

2.      TUJUAN PENYEMBELIHAN
Untuk membedakan apakah binatang yang telah mati itu halal atau haram dimakan. Binatang yang disembelih sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ halal dimakan, sedang binatang yang mati tanpa disembelih atau disembelih tetapi tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’, seperti bangkai, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, haram dimakan.[3]
3.      SYARAT-SYARAT PENYEMBELIHAN
a.      Yang berhubungan dengan orang yang menyembelih
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat seorang yang sah penyembelihannya, ialah orang yang mukallaf, muslim, dan tidak melalaikan shalat.[4] Sedangkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa orang yang boleh menyembelih itu ada 5 syarat:
1.      Islam
2.      Laki-laki
3.      Baligh
4.      Berakal sehat
5.      Tidak menyia-nyaikan shalat
Para ulama sepakat pula bahwa orang yang tidak boleh menyembelih atau sembelihannya tidak halal dimakan adalah orang-orang musyrik, erdasarkan firman Allah Swt. Qs.Al’Maidah:3
“..Diharamkan bagimu (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …dan hewan yang disembelih untuk berhala itu haram bagimu...”
Sedangkan Ahli kitab termasuk salah satu orang yang masih diperselisihkan tentang halal dan haram sembelihannya. Mereka yang mengatakan halal berlandaskan pada firman Allah Swt. Qs. Al-Maidah: 5
  
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan (sembelihan) mu halal pula bagi mereka…”
Dan mereka yang memperselisihkannya, ahli kitab tersebut menyembelih untuk mewakili orang-orang Islam, pada saat menyembelih mereka menyebut nama selain Allah, dll.[5]
b.      Yang berhubungan dengan niat
Niat penyembelihan yang benar ialah penyembelihan binatang dengan tujuan untuk memakan binatang itu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Jika ada niat penyembelihan yang lain dari ketentuan ini maka penyembelihan hewan itu tidak memberi manfaat halalnya binatang yang dimakan binatang yang di sembelih itu. Berdasarkan firman Allah Swt. Qs. Al-Maidah:3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…"
Dari perkataan”yang disembelih untuk berhala” dipahami bahwa setiap sembelihan yang tujuannya bukan untuk dimakan serta disembelih untuk orang selain Allah, maka sembelihan itu haram dimakan.[6]
Mengenai persyaratan niat dalam penyembelihan, menurut pendapat madzhab Maliki hukumnya wajib. Bagi fuqaha yang mewajibkannya, menganggap penyembelihan itu suatu ibadah, itulah latar belakang niat menyembelih menjadi syarat.
            Sedang bagi fuqaha yang tidak mewajibkannya, berpendapat bahwa penyembelihan itu merupakan suatu perbuatan yang dapat dimengerti maksudnya, yang tujuannya menghilangkan jiwa. Oleh karena itu tidak disyaratkan niat dalam penyembelihan, sebagaimana halnya penyucian najis, yang tujuannya adalah menghilangkan najis itu sendiri.[7]
c.       Yang berhubungan dengan shigat (ucapan)
Menurut madzhab Syafi’i sunat hukumnya membaca Basmalah waktu menyembelih binatang. Berdasarkan pada hadist :
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺷﺔ ﺍﻦ ﻗﻭﻣﺎ ﻗﺎﻟﻭﺍ : ﻳﺎ ﺮﺳﻭﻞﺍﻟﻟﻪ ﺍﻦ ﻗﻭﻣﺎ ﻳﺄﺗﻭﻧﻧﺎ ﺑﺎﻟﻟﺤﻢ ﻻ ﻧﺪﺭﻱ ﺍﺫﻛﺭ ﺍﺴﻢ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻳﻪ ﺍﻢ ﻻ, ﻗﺍﻝ ﺴﻣﻭﺍ ﻋﻟﻳﻪ ﺍﻧﺗﻢ ﻭ ﻛﻟﻭﺍ
Dari Aisyah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah berkata: Sesungguhnya suatu kaum telah datang kepada kami membawa daging yang kami tidak mengetahui apakah waktu menyembelihnya mereka menyeut nama Allah atau tidak, apakah kami boleh memakannya atau tidak? Rasulullah menjawab: Sebutlah nama Allah dan makanlah.”   
Sebagian imam yang lain berpendapat bahwa membaca basmallah itu merupakan syarat syahnya suatu penyembelihan, berdasarkan firman Allah QS. Al-an’am: 118  
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”
d.      Alat penyembelih
Boleh menggunakan alat apapun asal alat itu tajam dan dapat memutus tenggorokan dan urat nadi besar di leher binatang yang di sembelih.
Dalam pada itu Rasulullah memerintahkan agar selalu melakukan sembelihan itu dengan sebaik-baiknya, sehingga binatang yang disembelih itu tidak terlalu merasa sakit, tubuhnya dalam keadaan baik, tidak rusak atau hancur.
Menyembelih boleh dengan segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah, selain gigi dan tulang. Dari Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya bahwa ia bertutur, “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki pisau sembelih.” Kemudian Beliau bersabda, “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi. Adapun kuku adalah alat sembelih orang-orang kafir Habasyah, sedangkan gigi adalah tulang.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 631 no: 5503, Muslim III: 1558 no: 1986, ‘Aunul Ma’bud VIII: 17 no: 2804, Tirmidzi III: 25 no: 1522, Nasa’I VII: 226 dan Ibnu Majah II: 1061 no: 3178).
Dari Syaddad bin Aus ra ia bertutur: Ada dua hal yang kuhafal dari Rasulullah saw, yaitu Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (atas kita) berbuat baik kepada segala sesuatu. Oleh karena itu, apabila kamu hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik; dan apabila kamu hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula, dan hendaklah seorang di antara kamu mengasah (menajamkan) parangnya lalu percepatlah (jalannya pisau ketika menyembelih) binatang sembelihannya!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2540, Muslim III: 1548 no: 1955, Tirmidzi II: 431 no: 1430, ‘Aunul Ma’bud VIII: 10 no: 2797, Nasa’i VII: 227 dan Ibnu Majah II: 1058 no: 3170).
Tidak diperbolehkannya menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang bernama Ethiopia).”[8]
4.      TATA CARA MENYEMBELIH
Hewan terbagi dua: yaitu hewan yang dapat disembelih dan hewan yang tidak dapat disembelih. Adapun binatang yang gampang disembelih, maka tempat penyembelihannya adalah pada tenggorokan dan di bawah leher, sedangkan hewan yang tidak bisa disembelih, maka cara menyembelihnya adalah dengan jalan menikam lehernya tatkala mampu menguasainya.[9]
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Penyembelihan adalah di tenggorokan dan di pangkal leher.” Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Anas ra, berkata, ”Apabila kepala terputus, maka tidak jadi masalah.” Dari Rafi’ bin Khadij ra bahwa ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai senjata tajam. Maka sabda Beliau, “Segeralah sembelih, segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Allah (pada waktu menyembelihnya), maka makanlah, selain gigi dan kuku. Dan saya akan menguraikan kepadamu, adapun gigi, ia adalah tulang, sedangkan kuku adalah alat sembelih orang-orang Habasyah.” Dan, kami mendapatkan rampasan perang berupa unta dan kambing. Kemudian ada unta yang kabur, lalu dipanah oleh seseorang hingga ia berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara mereka ada yang sempat membuat kamu kerepotan, maka lakukanlah begini kepadanya (yaitu panahlah di lehernya, atau bunuhlah kemudian makanlah).” (Shahihul Jami’ no: 2185).
5.      PENYEMBELIHAN JANIN DALAM KANDUNGAN
Apabila ada janin keluar dari perut induknya dalam keadaan hidup, maka ia harus disembelih. Namun manakala ia lahir dari perut induknya yang disembelih itu dalam keadaan mati, maka menyembelih induknya itu berarti juga sebagai sembelihan baginya.
Dari Abu Su’aid ra, ia berkata: Kami pernah bertanya kepada Rasulullah saw perihal janin hewan, maka sabda Beliau saw, “Makanlah ia, kalau kalian mau; karena sesungguhnya penyembelihannya adalah menyebelih induknya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2451 dan ’Aunul Ma’bud VIII: 26 no: 2811).
Akan tetapi madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika disembelih seekor binatang kemudian keluar anaknya dalam keadaan mati maka anaknya itu termasuk bagkai, haram dimakan, tetapi ulama-ulama lain memandangnya halal sesuai dengan hadist di atas. 

6.      HUKUM MENYEMBELIH BINATANG YANG SEDANG SEKARAT
Para ulama sepakat bahwa sembelihan terhadap binatang itu akan berfaedah yang menyebabkan binatang itu halal dimakan, jika penyembelihan itu dilakukan pada saat binatang itu diyakini dalam keadaan hidup, baik dalam keadaan sakit, patah tulangnya, rusak sebagian anggotanya, terjatuh kedalam sebuah parit, luka parah karena diterkam binatang buas maupun dalam keadaan sakaratul maut.
            Rasulullah pernah ditanya tentang tempat penyembelihan apakah harus hanya di tempat penyembelihannya saja atau tidak, beliau menjawab : walaupun engkau menusuk dipahanya, tentu dapat pahala(boleh), (HR. Abu Daud) dan dia berkata cara ini untuk penyembelihan binatang yang jatuh ke dalam sumur dan nyaris mati. Juga Yazin bin Harun berkata : cara ini dipakai karena darurat.[10]

7.      SUNAT DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN
Ada beberapa perbuatan yang sunnat hukumnya dilakukan waktu menyembelih binatang, yaitu:
1.      Menghadapkan binatang yang akan di sembelih itu ke kiblat. Sekalipun tidak ada nash yang menerangkannya, tetapi para ulama sependapat dalam hal ini. Alasannya ialah bahwa menyembelih binatang itu adalah perbuatan baik, karena itu baik pula dihadapkan ke kiblat.
2.      Meniatkan penyembelihan binatang itu semata-mata karena Allah dan sesuai pula dengan ketentuan-ketentuan syara’. Rasulullah saw melarang sesuatu penyembelihan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan dan tujuan syara’.seperti menyembelih binatang untuk main-main saja. Berdasarkan hadist: yang artinya: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Barangsiapa yang membunuh burung dengan tujuan bermain-main, maka burung itu akan berbunyi dengan sedih sampai hari kiamat dengan mengatakan: Ya Tuhan, sesungguhnya si Fulan telah membunuhku dengan tujuan ermain-main, ia tidak membunuhku untuk satu tujuan yang bermanfaat”.  
3.      Membiarkan binatang yang disembelih itu sampai mati. Setelah jelas kematiannya barulah dibersihkan, sesuai dengan hadist: yang artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw berkata : “ Janganlah kamu menyegerakan keluarnya jiwa (binatang yang di sembelih dari badannya) sebelum jiwa itu keluar (dengan sendirinya)”

8.      ADAB DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN
Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih”[11]
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di hadapan hewan yang akan disembelih. Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,
أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا
”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau membaringkannya”[12]
Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya.[13]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti ini adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada pun menuntunkan demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Juga berdasarkan kesepakatan ulama dan yang sering dipraktekan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri[14]
Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan
Anas berkata,
ضَحَّى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .
“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya[15]
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk  menyembelih dan mudah mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri[16]
Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat
Dari Nafi’,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.
Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.[17] Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan)[18]
Kelima dan Keenam: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca "Bismillaahi wallaahu akbar", sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
  1. hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) atau
  2. hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)

9.      PENYEMBELIHAN BINATANG BURUAN
Para ulama sependapat bahwa setiap binatang hasil buruan tertangkap dalam keadaan mati dan yakin bahwa binatang buruan itu matinya karena alat berburu kepunyaan pemburu, maka binatang itu halal dimakan tanpa disembelih. Demikian pula jika binatang buruan itu tertangkap dalam keadaan hidup. Binatang itu wajib disembelih agar halal dimakan.
            Hewan yang boleh diburu adalah hewan laut, yaitu ikan dengan segala macamnya dan hewan darat yang halal dimakan yang tidak jinak. Binatang yang dibunuh tanpa disembelih secara wajar penyebab halalnya bukan karena buasnya melainkan karena tidak dapat ditangkap untuk disembelih secara wajar.  Maka binatang piaraan pun apabila tidak dapat ditangkap, boleh disembelih seperti menyembelih binatang buruan.
            Kriteria alat berburu ada tiga, yaitu hewan yang bisa melukai, besi yang ditajamkan, benda tumpul.cara menyembelih binatng buruan adalah dengan melukainya.[19] Dan hewan pemburu yang diperbolehkan adalah anjing terlatih yang tidak hitam.

10.  PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN
Secara lughawi Udhiyah berarti menyembelih binatang di pagi hari. Maksudnya beribadah kepada Allah dengan cara menyembelih binatang tertentu pada hari raya idul adha (10 Dzulhijjah) dan hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah) seuai dengan ketentuan syara’. Dasar hukumnya QS.Al-Kautsar: 1-3  
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”
Para ulama sepakat bahwa hewan yang boleh dijadikan kurban boleh juga disembelih untuk keperluan sehari-hari, namun dianjurkan kambing dan burung untuk sembelihan biasa, unta dan sapi untuk kurban dan juga sembelihan biasa.[20]
Binatang yang dijadikan kutban hendaklah binatang yang sehat, bagus, bersih, enak dipandang mata, mempunyai anggota tubuh lengkap, cukup umur, tidak ada cacat,seperti pincang, rusak kulit, dan sebagainya. Kemudian mengenai jumlah hewan kurban menurut ijma’ seekor kambing mencukupi untuk satu orang dan seekor unta atau sapi kerbau mencukupi untuk tujuh orang. Berdasarkan hadist Dari Jabir berkata”pada tahun perjanjian Hudaibiyah kami menyemelih kurban bersama Nabi Saw. Unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang.”(HR. Muslim, abu daud, tirmidzi) [21] 
Hukum daging kurban, menurut kesepakatan para ulama, orang yang berkuran diperintahkan memakan sebagian daging kurbannya dan menyedekahkan sebagian yang lain, Berdasarkan firman Allah QS. Al-Hajj:28
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan, atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Mayoritas ulama menyunatkan dibagi tiga, 1/3 untuk disimpan, 1/3 untuk disedekahkan, dan 1/3 untuk dimakan. Dagingnya tidak boleh dijual. Ada yang membolehkan seperti kulit, bulu, dll

11.  PENYEMBELIHAN HEWAN AQIQAH
Aqiqah berarti bulu atau rambut anak yang baru lahir, maksudnya sembelihan yang disembelih berhubung lahirnya seorang anak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Hukum aqiqah adalah sunnah. Menurut Malik, jumlah kambing akikah, anak laki-laki dan perempuan sama saja, yaitu seekor kambing. Sedangkan menurut mayoritas ulama adalah seekor untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.
Hewan yang dijadikan untuk aqiqah adalah semua binatang yang dapat dijadikan binatang kurban yaitu unta, sapi, kerbau, kambing dan domba. Sedangkan menurut madzhab maliki hewan aqiqah itu kambing dan domba.
Daging aqiqah, kulit, dan bagian-bagian tubuhnya yang lain sama dengan hukum yang berlaku pada hewan kurban dalam hal memakannya, memberikan, serta tidak boleh dijual.  

BAB III
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang penyembelihan hewan pada makalah ini yang dapat kami susun yang tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran dari pihak yang terkait dalam hal ini sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. semoga bermanfaat bagi kita semua.




DAFTAR PUSTAKA
·         Al-jauziah, Ibnu Qayyim, fatwa-fatwa Rasulullah Saw., jilid II, Jakarta: Pustaka Panjimas,1990
·         Ali al-Mundzor, Yunus, Misykaatul masaabih, jilid IV, Semarang : CV.Asy-Syifa, 1994
·         Direktorat pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid I, cet, II, Jakarta: 1983
·         Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid; Analisa Fiqh para Mujtahid, jilid II, cet I, Jakarta: Pustaka Amani, 1989
·         http://rumasyho.com/hukum islam/Tuntunan penyembelihan hewan-html



[1] Direktorat pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid I, cet, II, Jakarta: 1983, h.505
[2] http.rumasyho.com
[3] Ibid, h. 506                                                                                                                                 
[4] Ibid, h. 508
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid; Analisa Fiqh para Mujtahid, cet I, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, h. 314-315
[6] Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Op cit, hal.509
[7] Ibnu Rusyd,  op cit. h. 312
[8] HR. Bukhari no. 2488
[9] http://rumasyho.com/hukum islam/Tuntunan penyembelihan hewan-html
[10] Ibnu Qayyim Al-jauziah, fatwa-fatwa Rasulullah Saw., jilid II, Jakarta: Pustaka Panjimas,1990
[11] HR. Muslim no. 1955
[12] HR. Al Hakim (4/257), Al Baihaqi (9/280), ‘Abdur Rozaq no. 8608.  Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari. Adz Dzahabi dalam At Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At Talkhis Al Habir (4/1493) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[13] HR. Muslim no. 1967.
[14] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/122, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[15] HR. Bukhari no. 5558
[16] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’i, 10/18, Darul Ma’rifah, terbit 1379 H.
[17] HR. ‘Abdur Razaq no. 8585 dengan sanad yang shahih
[18] Shahih Fiqh Sunnah, 2/364
[19] Ibnu rusyd, op cit. h.332
[20] Ibnu rusyd, op cit. h.300
[21] Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu fiqh, op cit. h. 495

1 komentar:

  1. Assalamualaikum..kak maaf mau nanya, apakah usia hewan untuk kurban punya batasannya?
    akikah jogjanya

    BalasHapus