Pages

Jumat, 18 Oktober 2013

KONTEKSTUALISASI MAKNA SYUKUR

Allah swt dengan segala sifat rahman dan rahim-Nya telah menyediakan segalanya bagi kehidupan manusia, tinggal manusia yang harus mengolahnya sehingga anugerah Tuhan itu mendatangkan manfaat nyata bagi kehidupannya. Tuhan telah menanamkan pada diri manusia kemauan dan kemampuan sebagai bagian dari kemanusiaannya. Sunnatullah bahwa orang yang tidak bekerja berarti dia tidak akan mendapatkan apa-apa adalah upaya Allah untuk mendidik manusia supaya tidak ‘manja’ dan tidak ‘malas’ dalam mengarungi kehidupannya. Tujuannya jelas, agar berbagai kemampuan yang ditanamkan dalam kejadian manusia tidak tinggal sebagai kemampuan potensial belaka, melainkan menjelma menjadi kekuatan nyata.
Tuhan itu Mahakaya dari segala yang kaya di muka bumi ini. Ia tidak memerlukan apa-apa dari makhluk-Nya. Ketaatan manusia tidak akan menambah kekayaan-Nya begitupun pembangkangan manusia tidak akan mengurangi sedikit pun dari kekayaan-Nya. Digambarkan dalam sebuah Hadist Qudsi :
“Hai hamba-Ku, sungguhpun sejak awal hingga akhir kehidupan, kalian segenap manusia dan jin memiliki sikap ketakwaan sepenuh hati kepada-Ku, niscaya tidak akan pernah menambah sedikit  pun kekayaan pada kerajaan-Ku. Juga, andaikan kalian bangsa jin dan manusia sejak awal hingga akhir kehidupan berhimpun dalam satu tempat dan mengajukan permohonan bersama kepada-Ku lalu Aku kabulkan segala permohonan kalian, sama sekali tidak akan mengurangi apa yang ada pada-Ku, melainkan hanya bagaikan sebilah jarum yang dimasukkan ke dalam lautan” (HR. Muslim)
Begitulah kiranya bahwa harta kekayaan Tuhan itu benar-benar tidak terbatas. Maka, tidakkah segala amal perbuatan kita hanyalah untuk kepentingan diri kita sendiri?
Manusia akan bertambah nilai kemanusiaannya karena ia berusaha, bekerja dan berjuang. Melalui usaha dan kerja, melalui perjuangan dan jihad, manusia mengaktualisasikan segala kemampuan yang dianugerahkan Tuhan dalam dirinya. Kemampuan fisik, kemampuan mental, kemampuan intelektual, kemampuan moral dan kemampuan spiritual. Disinilah terletak hakikat makna ke-ahsanittaqwim-an manusia. Bila kemampuan tersebut tidak dikembangkan melalui perbuatan, amal shaleh atau kebajikan sosial, niscaya benih-benih kemampuan itu akan kering dan mati, ia tidak akan tumbuh dan berkembang, apalagi berbunga dan berbuah.
 Sebagai contoh, bagi petani, bumi dalam bentuk tanah adalah lahan untuk mencari nafkah. Ia menanam dan memetik hasil pertaniannya. Ia harus memanfaatkan bumi sebaik-baiknya sebagai tanda syukur dia kepada Tuhan yang telah menyediakan lahan pertanian untuk keperluan hidupnya. Syukur itu pada akhirnya mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tuhan. Akan tetapi, untuk menjadi petani yang berhasil, manusia harus bekerja keras.
Imam syafi’i menganjurkan : “ Safir tajid ‘iwadhan ‘amman tufarriquha” yang artinya : Pergilah, niscaya engkau akan menemukan ganti orang yang engkau tinggalkan. Karena itu, jika seseorang ingin mencapai keberhasilan dalam hidupnya, ia harus siap berpisah dengan lingkungan asalnya jika di tanah kelahirannya itu sudah tidak ada lagi lahan kehidupan untuk menyambung masa depan. Otomatis, jalan yang paling rasional adalah dia harus rela berpisah untuk mencari daerah baru yang menjanjikan lahan kerja baru yang lebih prospektif.
  Manusia harus bisa mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang kreatif (qadariyah), bukan manusia yang menyerah pada nasib (jabariyah). Hal ini memberikan potensi baru bagi manusia untuk memandang luas dunia ini. Karena di luar tempat tinggal kita masih terbentang hamparan bumi yang maha luas yang Allah sediakan untuk manusia. Maka, tepatlah kiranya seruan Imam Syafi’i supaya kita perlu mengembara ke negeri lain, manakala di negeri sendiri kesulitan membangun hidup.
Hidup kita pastilah kita usahakan menjadi kisah nyata tentang kerja keras dan usaha tekun dalam mengejar sukses dan keberhasilan. Gambaran Nabi Muhammad bahwa dunia adalah mazra’atul akhirah (lading bagi akhirat), mengisyaratkan bahwa tugas kita di dunia ini adalah bekerja keras menyiapkan bekal agar diakhirat nanti kita bisa memetik hasilnya. Dan niscaya kita akan menikmati sensasi perjuangan dalam hidup. Karena melalui perjuangan di dunia membuat kita bisa menikmati hidup di akhirat dengan layak.  
Seharusnya kita mulai sadar bahwa setiap kesuksesan itu dimulai dengan sikap kerja secara serius, bukan dengan sikap santai bermalas-malasan. Bukankah Allah hanya akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu berusaha mengubah nasibnya terlebih dahulu?. Karena itu faktor utama yang menyebabkan kehidupan kita menjadi jauh dari kemajuan adalah akibat kita tidak pernah sadar bahwa dalam diri kita tidak ada motivasi untuk maju dan berkembang. Padahal sungguh dalam setiap manusia terdapat potensi yang luar biasa, yang mana potensi tersebut hanya akan tampak bila mau digali dan digunakan oleh tuannya, yang hanya bisa termanifestasikan oleh orang-orang yang benar-benar bersyukur kepada Allah swt.

1 komentar:

  1. Mungkin byk yg merasa terjebak tp krn dlm jebakan ad potensi utk beramal jg, maka utk org2 yg common sense nya baik, dimanapun dia berada akan baik

    BalasHapus