Allah swt dengan segala sifat rahman dan rahim-Nya telah
menyediakan segalanya bagi kehidupan manusia, tinggal manusia yang harus mengolahnya
sehingga anugerah Tuhan itu mendatangkan manfaat nyata bagi kehidupannya. Tuhan
telah menanamkan pada diri manusia kemauan dan kemampuan sebagai bagian dari
kemanusiaannya. Sunnatullah bahwa orang yang tidak bekerja berarti dia tidak
akan mendapatkan apa-apa adalah upaya Allah untuk mendidik manusia supaya tidak
‘manja’ dan tidak ‘malas’ dalam mengarungi kehidupannya. Tujuannya jelas, agar
berbagai kemampuan yang ditanamkan dalam kejadian manusia tidak tinggal sebagai
kemampuan potensial belaka, melainkan menjelma menjadi kekuatan nyata.
Tuhan itu Mahakaya dari segala yang kaya di muka bumi ini. Ia tidak
memerlukan apa-apa dari makhluk-Nya. Ketaatan manusia tidak akan menambah
kekayaan-Nya begitupun pembangkangan manusia tidak akan mengurangi sedikit pun
dari kekayaan-Nya. Digambarkan dalam sebuah Hadist Qudsi :
“Hai hamba-Ku, sungguhpun sejak awal hingga akhir kehidupan, kalian
segenap manusia dan jin memiliki sikap ketakwaan sepenuh hati kepada-Ku,
niscaya tidak akan pernah menambah sedikit
pun kekayaan pada kerajaan-Ku. Juga, andaikan kalian bangsa jin dan
manusia sejak awal hingga akhir kehidupan berhimpun dalam satu tempat dan
mengajukan permohonan bersama kepada-Ku lalu Aku kabulkan segala permohonan
kalian, sama sekali tidak akan mengurangi apa yang ada pada-Ku, melainkan hanya
bagaikan sebilah jarum yang dimasukkan ke dalam lautan” (HR. Muslim)
Begitulah kiranya bahwa harta kekayaan Tuhan itu benar-benar tidak
terbatas. Maka, tidakkah segala amal perbuatan kita hanyalah untuk kepentingan
diri kita sendiri?
Manusia akan bertambah nilai kemanusiaannya karena ia berusaha,
bekerja dan berjuang. Melalui usaha dan kerja, melalui perjuangan dan jihad,
manusia mengaktualisasikan segala kemampuan yang dianugerahkan Tuhan dalam
dirinya. Kemampuan fisik, kemampuan mental, kemampuan intelektual, kemampuan
moral dan kemampuan spiritual. Disinilah terletak hakikat makna ke-ahsanittaqwim-an
manusia. Bila kemampuan tersebut tidak dikembangkan melalui perbuatan, amal
shaleh atau kebajikan sosial, niscaya benih-benih kemampuan itu akan kering dan
mati, ia tidak akan tumbuh dan berkembang, apalagi berbunga dan berbuah.
Sebagai contoh, bagi petani,
bumi dalam bentuk tanah adalah lahan untuk mencari nafkah. Ia menanam dan
memetik hasil pertaniannya. Ia harus memanfaatkan bumi sebaik-baiknya sebagai
tanda syukur dia kepada Tuhan yang telah menyediakan lahan pertanian untuk
keperluan hidupnya. Syukur itu pada akhirnya mendatangkan manfaat untuk dirinya
sendiri, bukan untuk Tuhan. Akan tetapi, untuk menjadi petani yang berhasil,
manusia harus bekerja keras.
Imam syafi’i menganjurkan : “ Safir tajid ‘iwadhan ‘amman
tufarriquha” yang artinya : Pergilah, niscaya engkau akan menemukan ganti
orang yang engkau tinggalkan. Karena itu, jika seseorang ingin mencapai
keberhasilan dalam hidupnya, ia harus siap berpisah dengan lingkungan asalnya
jika di tanah kelahirannya itu sudah tidak ada lagi lahan kehidupan untuk
menyambung masa depan. Otomatis, jalan yang paling rasional adalah dia harus
rela berpisah untuk mencari daerah baru yang menjanjikan lahan kerja baru yang
lebih prospektif.
Manusia harus bisa
mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang kreatif (qadariyah), bukan
manusia yang menyerah pada nasib (jabariyah). Hal ini memberikan potensi
baru bagi manusia untuk memandang luas dunia ini. Karena di luar tempat tinggal
kita masih terbentang hamparan bumi yang maha luas yang Allah sediakan untuk
manusia. Maka, tepatlah kiranya seruan Imam Syafi’i supaya kita perlu
mengembara ke negeri lain, manakala di negeri sendiri kesulitan membangun
hidup.
Hidup kita pastilah kita usahakan menjadi kisah nyata tentang kerja
keras dan usaha tekun dalam mengejar sukses dan keberhasilan. Gambaran Nabi
Muhammad bahwa dunia adalah mazra’atul akhirah (lading bagi akhirat), mengisyaratkan
bahwa tugas kita di dunia ini adalah bekerja keras menyiapkan bekal agar
diakhirat nanti kita bisa memetik hasilnya. Dan niscaya kita akan menikmati
sensasi perjuangan dalam hidup. Karena melalui perjuangan di dunia membuat kita
bisa menikmati hidup di akhirat dengan layak.
Seharusnya kita mulai sadar bahwa setiap kesuksesan itu dimulai
dengan sikap kerja secara serius, bukan dengan sikap santai bermalas-malasan. Bukankah
Allah hanya akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu berusaha mengubah
nasibnya terlebih dahulu?. Karena itu faktor utama yang menyebabkan kehidupan
kita menjadi jauh dari kemajuan adalah akibat kita tidak pernah sadar bahwa
dalam diri kita tidak ada motivasi untuk maju dan berkembang. Padahal sungguh
dalam setiap manusia terdapat potensi yang luar biasa, yang mana potensi
tersebut hanya akan tampak bila mau digali dan digunakan oleh tuannya, yang
hanya bisa termanifestasikan oleh orang-orang yang benar-benar bersyukur kepada
Allah swt.
Mungkin byk yg merasa terjebak tp krn dlm jebakan ad potensi utk beramal jg, maka utk org2 yg common sense nya baik, dimanapun dia berada akan baik
BalasHapus