KASUS CHINA : SEBUAH ANALISIS KOMPARATIF
· Hipotesis
Upaya untuk menemukan landasan-landasan sejarah tatanan hukum memaksa kita untuk memperjelas pemikiran kita tentang aspek-aspek paling mendasar dalam masyarakat yang di dalamnya terbentuk rule of law. Dalam peradaban-peradaban lain, kita menemukan perubahan-perubahan social yang berdampak pada pluralisme kelompok tertentu atau penguatan pandangan transenden akan dunia, sebuah pandangan yang kerap diikuti dengan penafsiran kumpulan-kumpulan sistematis hokum agama. Namun, dimanapun tidak pernah terjadi kedua unsure tersebut bergabung sempurna dan menghasilkan rule of law modern dari interaksi tersebut.
Peradaban China, terutama pada era yang berlangsung sejak awal periode Musim Semi dan Musim Gugur sampai penyatuan di zaman Ch’in dan berdirinya Negara kaisar pada 221 SM. Masyarakat disini tumbuh dan mengandalkan peraturan publik dan peraturan positif sebagai alat kontrol politik. Pembandingan dengan China sebagai kasus yang bertolak belakang, menjanjikan akan memperdalam wawasan kita tentang hubungan kompleks antara cara-cara pengaturan social, jenis-jenis kesadaran, dan bentuk-bentuk tatanan normatif.
Pembandingan ini berlangsung dalam tiga tahap analisis. Pertama, telaah ciri-ciri khusus salah satu periode dalam sejarah China. Peraturan positif dan peraturan publik (hukum sebagai regulasi) tidak terlalu dianggap penting. Kedua, hubungan antara penekanan keduanya sebagai telaah absennya kondisi-kondisi bagi sebuah tatanan hokum otentik di China. Ketiga, bagaimana isu-isu perkiraan sosial dan cultural dalam berbagai jenis hokum telah diangkat dalam perdebatan antara dua aliran pemikiran selama periode dalam sejarah Cina ini – aliran Konfusianis dan aliran Legalis.
· Adat Istiadat dan “Foedalisme” pada Cina Awal
Sesuai kesepakatan, periode dalam sejarah Cina kuno dibagi dua. Pertama, periode feudal yang meliputi sebagian besar masa Chou Barat (1122-771 SM) dan sebagian dari masa Musim Semi dan Musim Gugur sesudahnya (722-464 SM) sampai sekitar pertengahan abad ke-6 SM. Periode kedua, periode transformasi yang menyaksikan perubahan kepercayaan dan pengorganisasian social, sehingga menghasilkan revisi besar-besaran pada tatanan normative masyarakat. Periode ini dimulai pertengahan masa Musim Semi dan Musim Gugur, termasuk masa Chan Kuo (463-222 SM) sampai penyatuan Ch’in pada 221 SM.
Aspek-aspek terpenting dalam periode feudal untuk memahami jenis tipikal hukumnya adalah pengaturan politiknya, hubungan antar status social yang mencirikan periode itu, serta visi religious yang mendominasi. Pengorganisasian feudal berhadapan dengan latar belakang ekonomi pertanian penghasil bahan baku, yang sudah mulai menggunakan pengaruh sentralisasi. Berhadapan juga dengan perang yang relatif sengaja diciptakan oleh para bangsawan utama dan para shih pengikutnya. Untuk memahami cara politik itu, kita harus mempertimbangkan system status sosialnya.
Ada dua kategori yang sangat mencolok perbedaannya : bangsawan (chun zu) dan rakyat jelata (Hsiao jen). Bangsawan adalah keluarga kaisar, para pemilik tanah hadiah raja, golongan dominan yang dikendalikan oleh tanah hadiah bangsawan feudal dan golongan shih. Golongan shih setara dengan golongan ksatria di Eropa Barat, samurai di Jepang zaman Tokugawa, dan equite zaman Romawi Republik awal.
Gambaran singkat tentang masyarakatb feudal Cina ini ditutup dengan menambahkan cara-cara khas kepercayaan religiusnya. Kesatuan ketuhanan ditegaskan sebagai hail persatuan roh-roh fungsional yang mewujudkan kekuatan alam yang menjadi penopang masyarakat. Pengaruh agama dalam periode feudal terhadap gagasan ketuhanan universal bersifat ambigu dikarenakan adanya dua sebutan bagi Tuhan : Shang Ti (kaisar, penguasa tinggi) dan T’ien (langit). Sebutan T’ien perlahan-lahan menggantikan Shang Ti.
Ketika citra dominan masyarakat adalah citra pemerintah terpusat di bawah satu penguasa, kosmos dipahami sebagai versi luas tatanan social. Maka, Tuhan menjadi pemimpin militer tertinggi, lalu menjadi pembuat hokum yang dilambangkan sebagai Yaweh pada agama Yahudi awal. Terbukalah jalan bagi agama-agama transendensi. Peraturan-peraturan tertulis atau kitab undang-undang yang belum dikenal, dan wewenang pangeran-pangeran penguasa yang tak terbatas, masih dijaga dalam batas-batas yang paling ketat.
Hukum milik masyarakat feudal terangkum oleh konsep li yang mendominasi pemikiran Konfusianis. Li adalah standar hierarkis untuk perilaku, li mengatur hubungan sesuai kedudukan social relative individu. Sifat hierarkis li merupakan respon terhadap struktur politik masyarakat feudal dan system statusnya. Maka jurang pemisah antara chun zhu dan Hsiao jen diterima begitu saja. Hanya bangsawan yang ambil bagian dalam system kewajiban saling bersikap sopan, jika dipakai untuk kalangan rakyat biasa makna asli li melebur menjadi konsep adat istiadat yang lebih luas. Li dipandang sebagai bentuk perilaku yang intristik dengan situasi dan kedudukan social tertentu.
Li bukan peraturan positif, bahkan dalam satu pengertian, li bukan peraturan sama sekali. Li bukan sifat positif karena tidak dipahami, dirumuskan, atau dipatuhi sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan-hubungan konkret yang menentukan identitas individu dan kedudukan sosialnya. Tatanan normative yang sangat mengandalkan citra perilaku yang benar secara tegas namun tidak teraktualisasikan itu hanya berlangsung efektif dalam konteks social yang memiliki consensus nilai dan persepsi yang kuat.
Landasan social bagi karakteristik li terletak pada tidak adanya pemisahan Negara dan masyarakat selama periode feudal. Li tidak bersifat publik dan tidak dianggap sebagai produk lembaga Negara. Li menyentuh segala aspek dalam kehidupan social. Kedudukan seseorang dalam urutan status nyaris sepenuhnya menentukan aksesnya terhadap kekuasaan. Secara umum, periode feudal Cina kuno memberikan contoh yang bagus sekali tentang masyarakat yang hampir sepenuhnya bergantung pada hokum interaksional dan belum mengenal jenis hokum lain. Gejala ini menjadi gamblang setelah kita memahami kondisi social dan budaya tiap-tiap tatanan normatif.
· Periode Transformasi : Dari Hukum Adat Menuju Hukum Birokratis
Masyarakat dan kebudayaan Cina mengalami perubahan mencolok menjelang pertengahan periode Musim Semi dan Musim Gugur, yaitu abad ke-6 SM. Perubahan ini semakin cepat dengan dimulainya periode Negara-negara yang sedang berperang pada 436 SM. Dan mencapai puncaknya dengan berdirinya Negara kaisar bersatu pada 221 SM. Masa ini disebut masa transformasi.
Sejarah politik periode transformasi merupakan sejarah runtuhnya system feudal secara terus menerus. Pada lingkupn antar Negara, kecenderungan dasarnya mengarah pada sentralisasi politik. Konflik dalam masyarakat feudal menyebabkan jumlah Negara yang berperang menyusut dengan cepat dan tiap-tiap Negara mengalami pemekaran wilayah. Perang membawa akibat penting bagi peraturan dalam negeri negara-negara yang bermusuhan. Disamping itu, pemisahan yang tiba-tiba serta berbaliknya peruntungan yang tidak disangka-sangka akibat situasi pergolakan memunculkan kader diplomat, sarjana dan sofis yang cekatan.
Rakyat jelata maupun bangsawan tidak luput dari sapu gelombang perubahan social. Dengan terbentuknya pemerintahan terpusat dan penataan ulang system perpajakan, “budak-budak” dari masyarakat feudal beralih menjadi penyewa tanah yang membayar upeti. Secara keseluruhan, dampak dari segala peristiwa politik dan social ini memisahkan Negara dari masyarakat. Ada dugaan bahwa semua peristiwa itu juga turut berperan dalam meruntuhkan kesatuan nilai dan persepsi yang sangat kuat, yang menjadi landasan tatanan feudal dan hukum adatnya. Menjelang abad ke-7 SM, kitab undang-undang hukum tertulis mulai bermunculan di negeri-negeri Cina.
· Kaum Konfusianis dan Legalis
Pengalaman Cina kuno mengungkapkan hubungan diantara tipe-tipe hokum, struktur social, dan kesadaran serta memajukan pemahaman akan kondisi-kondisi tatanan hokum di masyarakat kita sendiri. Konflik doktrinal utama pada periode transformasi adalah pertentangan antara murid-murid Konfusius dan Fa Chia, begitulah sebutan bagi kaum legalis. Legalisme dan Konfusianisme punya inti pandangan sendiri-sendiri yang mencampuradukan deskripsi dan preskripsi. Inti pandangan Legalisme dan Konfusianisme juga mencakup penjelasan tentang watak dasar manusia, pandangan tentang manusia yang sepatutnya antara pemerintah dan kelompok-kelompok social serta doktrin tatanan normatif.
BATAS-BATAS PERBANDINGAN DENGAN CINA : PENGALAMAN PERADABAN-PERADABAN YANG LAIN
Perbandingan antara pengalaman hokum Cina kuno dengan Eropa modern menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kedua tradisi mewakili akstrem dari spectrum ada atau tidak adanya rule of law. Kedua masyarakat itu sama-sama mengalami perubahan-perubahan yang mengarah pada pebanyakan hokum birokratis, tetapi hanya satu masyarakat yang mengembangkan tatanan hokum yang sesungguhnya. Kebanyakan peradaban menempati posisi menengah dalam spectrum ini.
Ada dua jenis situasi utama yang dalam hal-hal tertentu mendekati rule of law, sementara dalam hal-hal lainnya tidak teralalu mendekati. situasi pertama meliputi hokum agama di India kuno, Islam, dan Yudaisme. Dan yang kedua adalah sejarah hokum Yunani-Romawi.
· Hukum Agama di India kuno, Islam, dan Yudaisme
Semua system hokum agama ini dipercaya memilki otoritas yang mengatasi manusia sebagai kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa atau sebagai refleksi tatanan impersonal. Dharmarasta Hindu menerangkan implikasi terhadap pelaksanaan dharma manusia. Hukium Syari’ah menetapkan perintah-perintah Allah bagi umat manusia. Wahyu ilani yang ditetapkan lewat ayat-ayat Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Demikian pula halakhah Yahudi menunjukan tatanan komprehensif bagi kehidupan manusia. Sumber utama adalah Taurat, wahyu Tuhan diatas Gunung Sinai kepada manusia pilihan-Nya.
Agama India (Hinduisme) turut berperan terhadap konsepsi karakteristik dewa tertinggi selalu ambivalen. Dalam Islam, Syari’ah adalah hokum universal yang mencerminkan kehendak Tuhan dan menetapkan kesetaraan diantara umat manusia. Halakhah Yahudi lebih mendekati bentuk tatanan hokum daripada kumpulan hokum agama lainnya. Asal usul ilahi kitab Taurat memperkuat kepercayaan akan universalisme hokum agama dan doktrin kitab Injil menekankan kesetaraan hakiki semua bangsa.
· Varian Yunani-Romawi
Sejarah hokum Yunani dan Romawi menawarkan satu lagi contoh tradisi yang terletak di antara penolakan Cina kuno dan penerimaan Eropa modern terhadap rule of law. Factor social disini tidak seperti di Cina, sentralisasi di Yunani tidak pernah cukup kuat untuk mengendalikan, apalagi menekan konflik kelompok. Menjelang abad ke-7, kekuasaan raja-raja di sebagian besar wilayah Hellas sudah lama surut ke tangan oligarki aristokratis. Dari abad ke-7 sampai awal ke-5 SM, perekonomian semakin melibatkan uang.
“Tirani” menjadi tahap menentukan dalam evolusi tatanan sosial yang relatif pluralistis. Demikianlah rezim Peisis-tradid di Athena mengadu domba komunitas pedagang asing dengan golongan Eupatrid. Kadar pluralisme kelompok dan konflik kelompok yang dicapai tidak pernah cukup memadai untuk mentransformasi masyarakat itu menjadi masyarakat liberal. Ketika konsep alam berhasil terbentuk, landasan teologisnya teralalu lambat dan lemah, dengan penguatan social yang yang kelewat kurang untuk menjadi pengaruh yang signifikan terhadap pengorganisasian.
HUKUM SEBAGAI RESPON TERHADAP MEROSOTNYA KETERTIBAN
Situasi yang digambarkan oleh pandangan konsensus terhadap tatanan sosial merupakan dasar bagi hukum interaksional. Adat istiadat tumbuh subur sampai mencapai tahap ada kesatuan pemahaman dan ideal yang berpadu erat, menyebar luas, saling berkaitan secara koheren, dengan norma-norma yang konkret dan dipegang teguh. Dalam situasi yang memunculkan hukum birokratis, penguasa atau kelompok yang berkuasa bisa melihat masyarakat dari sudut pandang doktrin instrumentalis.
Hukum publik dan hukum positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok yang berkuasa. Pemisahan Negara dari masyarakat menciptakan wahana institusional untuk kontrol tersebut. Selama ribuan tahun manusia memandang alam dan masyarakat sebagai perlambang tatanan suci yang sifatnya hidup sendiri. Bentuk eksistensi dan kesadaran yang benar-benar berbeda hanya muncul di dalam lingkup sejarah yang relative modern. Setiap upaya solusi terhadap krisis tatanan tersebut terbatas kemampuannya dalam mengesahkan kesepakatan sosial.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnegara yang terpisah dari masyarakatnya diistilahkan oleh marx sebagai terpisahnya basis struktur dan supra struktur. basis struktur sebagai bentuk kesadaran ide masyarakat dan supra struktur sebagai representasi dari ide itu. salah satunya adalah bentuk negara. ketika keduanya terpisah, maka bisa dipastikan terjadi penindasan pemegang otoritas terhadap rakyat. marx yakin, segala produk negara (hukum, birokrasi, media, dll) adalah alat penindas rakyat. namun ia tidak menjelaskan kenapa dengan kondisi penindasan ini ada masyarakat bawah yang mengikuti apa kata penguasa dan tidak melakukan perlawanan. pertanyaan ini dijawab oleh tokoh marxis lainnya, yaitu antonio gramsci dengan teori hegemoninya dimana ia yakin, bahwa relasi penindasan tidak hanya terjadi dengan tindakan represif saja, namun juga bersifat hegemonik, yaitu bagaimana penguasa mampu memanipulasi harapan2 hidup masyarakat dengan kepentingan penguasa (contoh: ide liberalisasi ekonomi di indonesia yang menyambungkan antara kepentingan kapitalisme internasional dengan harapan terwujudnya kesempatan bekerja untuk semua orang). walaupun nyatanya, kesamaan harapan itu hanyakah semu. gramsci berangkat dari kondisi di italia ketika masyarakat italia mengikuti dengan senang hati kehendak gila diktator benito musollini. teori hegemoni ini disempurnakan oleh althusser yang membagi kekuasaan negara dalam dua alat kekuasaan. repressive apparatus state dan ideological apparatus state. RAS dengan kekuatan repressif nya akan selalu menjadikan kelas sosial sebagai sesuatu yang ada. Sedangakn IAS akan menggunakan perannya sebagai penjamin tetap utuhnya masyarakat, apapun kondisi objektifnya.
BalasHapusbagus.. bagus...
BalasHapusg kurang banyak?? :-)