“…Jika anda mengira bahwa mereka yang berhasil mencapai derajat kesufian itu karena sifat kelaki-lakiannya, maka tengoklah apa yang telah dicapai oleh para perempuan suci, katakan pada diri anda : ‘jangan sekali-kali anda kalah oleh perempuan dalam hal agama dan urusan dunia’. Kini, mari kita bicarakan kedudukan spiritual perempuan yang telah bersungguh-sungguh menghamba kepada Tuhannya…” (Al-Ghazali, Ihya IV: 401)
Itulah kutipan dari penjelasan Al-Ghazali dalam Ihya tentang Mujahadah (sungguh-sungguh dalam beribadah). Dari caranya mengungkapkan, tampak ingin meyakinkan pembacanya agar tidak salah mengira bahwa derajat kesufian hanya bisa diraih dan dimonopoli oleh kaum laki-laki semata. Bagaimanapun menurut penjelasannya, sikap mujahadah merupakan tahap yang tidak mudah, karena harus benar-benar mampu menomorduakan nafsunya untuk mencapai Ridla Sang Kekasih. Dalam konteks pandangannya terhadap perempuan, pengetahuan tentang realitas bathiniah menimbulkan implikasi pemahaman tentang kesetaraan kualitas jiwa manusia baik laki-laki maupun perempuan karena yang di pandang “eksis” sebagai kualitas itu sesungguhnya adalah kerangka bathiniyahnya bukan kerangka lahiriyah dalam wujud laki-laki atau perempuan.
Beberapa tema utama yang sering menimbulkan pemahaman yang kontroversial di dalam masyarakat, yaitu relasi gender di berbagai aspek sosial-politik yang secara umum bisa dikatakan bahwa pandangan keagamaan yang muncul dalam berbagai penafsiran, lebih bersifat bias keberpihakan pada laki-laki, dimana laki-laki diberikan peran dominan dalam dunia publik sedangkan perempuan diberikan peran wilayah privat atau domestik.
Kedudukan Perempuan Dalam Islam
Islam sebagai agama mulia memandang kedudukan perempuan tidak seperti apa yang telah dicatat oleh sejarah pada masa pra-Islam (Jahiliyyah). Jika kita menelaah kembali tentang konsepsi perempuan pada masa itu, diskriminasi terhadap kaum hawa sangat marak dan krusial. Dimana saat itu perempuan dianggap makhluk yang menjijikan, diperlakukan sewenang-wenang, bisa diperjualbelikan, bahkan tidak mendapatkan hak-hak kemanusiaan dan kehidupan yang layak yang seharusnya mereka dapatkan. Maka Islam datang sebagai lentera penerang dengan mengangkat derajat perempuan, memberikan kebebasan, kehormatan, serta persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dari sisi hak maupun kewajiban. Islam telah benar-benar menghapuskan perbudakan, penyiksaan, serta menyelamatkan kehidupan perempuan pada generasi selanjutnya, karena misi Islam tidak hanya demi kebaikan umatnya melainkan untuk seluruh aspek kehidupan dan kemaslahatan alam semesta. Islam universal lahir dari esensi kemanusiaan, menyerukan kemanusiaan, memahami keutuhannya, dan menjadikannya terhormat.
Sudah sejak lama al-Qur’an mengobsesikan pola kehidupan yang wajar dan relasi gender yang adil dan Rasulullah sendiri mencontohkan gagasan itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kemerdekaan kaum perempuan di masa Nabi betul-betul merupakan kejutan di kala kultur masyarakat ketika itu tidak memberikan tempat dan peluang yang wajar bagi perempuan. Islam datang dengan konsep relasi gendernya mengubah tatanan dan struktur masyarakat secara mendasar. Sedangkan dari sudut pandang Fiqh, ketentuan hukum bagi laki-laki dan perempuan tergambar dalam wacananya menunjukan adanya persamaan sekaligus perbedaan. Dari segi Filsafat, Ibn Rusyd memandang pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali lebih atau kurangnya. Seperti laki-laki dalam kebanyakan pekerjaan lebih cekatan dibanding perempuan meskipun bukan mustahil bahwa perempuan akan lebih cekatan dalam beberapa kegiatan. Fungsionalitas dalam masyarakatlah yang membedakan sedangkan tabi’at laki-laki dan perempuan adalah sama.
Kemudian dalam pandangan Tasawuf, para sufi mengakui bahwa tokoh utama dan pertama dalam sejarah awal tasawuf (abad ke-8) yang memperkenalkan cinta mutlak dari Tuhan ke dalam tasawuf yang asketis adalah sufi perempuan, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Tasawuf memposisikan perempuan sebagai manusia terhormat, sebagai pecinta dan mempunyai citra sebagai Ibu. Adapun Islam memandang keunggulan kaum laki-laki satu tingkat di atas kaum perempuan, Ibn al-‘Arabi menjelaskan dengan perbandingan kosmologisyang merupakan suatu ketetapan sebagaimana keunggulan langit dan bumi diatas manusia dan keunggulan makrokosmos di atas mikrokosmos.
Peran Khadijah Bagi Muhammad SAW
Dalam kisah tentang turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. disebutkan secara lugas bahwa Nabi merasa galau setelah menyepi beberapa malam di Gua Hira, karena ia mendengar seorang berbisik kepadanya yang memperkenalkan diri sebagai Jibril, ruh yang dapat dipercaya (ruh al-Amin), awalnya Nabi belum begitu percaya dengan kejadian itu. Namun sesampainya di rumah, ia mengadu kepada istrinya, Khadijah, dan menceritakan semua apa yang di alaminya. Karena pengertian dan kepercayaan yang ditunjukan dari sikap Khadijah terhadap kejujuran Nabi, maka secara perlahan-lahan tumbuh keyakinan dalam diri Nabi sendiri bahwa ‘bisikan’ yang didengarnya itu adalah Jibril.
Melalui cerita ini, Khadijah adalah satu-satunya orang yang dipercaya Muhammad untuk berbagi pengalamanyang luar biasa itu. Khadijah pula satu-satunya orang yang berhasil menghalau kegalauan Muhammad sekaligus meyakinkan kebenaran pengalaman itu seraya menyebutkan keunggulan-keunggulan pribadi Muhammad yang membuatnya pantas menerima wahyu.
Kemudian dalam penuturan Aisyah, istri Nabi yang menggantikan peran Khadijah dikemudian hari, yang disebutkan dalam kitab Manaqib al-Anshar, bab Tazwij an-Nabi SAW Khadijah wa Fadla’iluha, kesungguhan Khadijah untuk meyakinkan Muhammad dan pada saat yang sama meyakini kejujuran dari pengalaman Muhammad ini di kemudian hari menjadi kekuatan yang sangat berarti bagi Muhammad dalam mengemban tugas kenabiannya. Menurut Aisyah pula, secara jujur Muhammad sendiri merasakan bahwa peran Khadijah pada saat-saat penting seperti turunnya wahyu ini benar-benar tidak dapat dilupakan seumur hidupnya, bahkan ketika Khadijah telah bertahun-tahun meninggal.
Kisah mengenai hubungan antara Muhammad dan Khadijah dalam pengalaman pewahyuan untuk pertama kalinya ini menyiratkan suatu arti penting, bahwa perempuan bisa bertindak arif, rasional, tenang dan sekaligus memberikan keteduhan dalam situasi yang sangat kritis. Yaitu pada saat laki-laki membutuhkan legitimasi dari luar dirinya atas sesuatu yang dialaminya dan sesuatu yang harus diperbuatnya. Kisah ini juga mengisyaratkan suatu bukti yang menepis pandangan stereotip perempuan sebagai manusia yang selalu bertindak secara emosional dan berpikiran pendek. Dari kisah ini, semoga kita, para muslimah, bisa menauladani jejak Khadijah yang bisa bertindak sebagai problem solving ketika suami dalam kegalauan ataupun masalah lainnya.
Para Sahabiyat Teladan Bagi Muslimat
Dalam literatur hadist umumnya, terdapat beberapa tokoh tauladan dari sahabiyat (perempuan sahabat Nabi) yang menunjukan prestasi-prestasi keagamaan yang penting, memiliki keteguhan, kemandirian sikap dan kesungguhan mencari dan menegakkan kebenaran dalam beragama. Peristiwa hijrah, migrasi komunitas muslim dari Mekkah ke Yastrib (Madinah), merupakan salah satu simbol perjuangan Nabi dan pengikutnya yang sangat penting dalam Islam. Dalam peristiwa itu dikisahkan adanya integritas, dedikasi, pengorbanan dan keteguhan dalam mempertahankan agama. Beberapa sahabiyat turut menempuh perjalanan hijrah ini salah satunya Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’ith, putri salah seorang pemuka Quraisy. Demi agama yang diajarkan Muhammad, ia melepaskan diri dari ikatan keluarganya, kendatipun Nabi sudah memintanya kembali kepada keluarganya namun ia menolak dan dengan menangis memohon izin untuk ikut ke Madinah.
Kisah keteguhan yang sama juga ditunjukan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan ibn Harb, seorang ahli Quraisy yang paling gigih menentang Nabi. Keluarganya mengancam akan membunuhnya jika ia ikut hijah ke Madinah. Ia akhirnya tiba di Madinah dengan selamat dan beberapa tahun setelah hijrah, dipersunting Nabi menjadi istrinya. Kemudian Asma’ binti Umais yang mempunyai pengalaman dua kali hijrah yaitu pertama ke Najasyi (Eropa) dan kedua Madinah. Komitmen perempuan terhadap agamanya juga ditunjukan dalam kesediaan mereka melakukan bai’at. Bukhari menulis bab khusus tentang peristiwa pembai’atan terhadap perempuan yang masuk Islam ini dalam sebuah bab Bai’at an-Nisaa. Yang dalam riwayatnya Nabi melakukan bai’at kepada perempuan sama halnya seperti kepada laki-laki.
Hal lain yang menunjukan keteguhan perempuan dalam menerima agama adalah kesungguhan mereka untuk memperoleh informasi tentang ajaran Islam dari sumber awalnya, yakni Nabi sendiri. Dalam berbagai hadist Nabi tidak pernah membedakan pendengar yang mengikuti penjelasan Nabi dalam suatu majelis. Perempuan juga sering diceritakan Nabi sebagai sekelompok orang yang haus akan ilmu agama baik secara kolektif maupun individual.
Beberapa kejadian yang menceritakan tentang keteguhan sikap para perempuan terhadap agama dan kesungguhan mereka dalam mencari kebenaran, memberi satu penjelasan bahwa perempuan seperti halnya laki-laki telah menunjukan kematangan akal budi, emosi dan daya nalarnya; sebuah kematangan beragama yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap individu tanpa terkecuali.
Perempuan di Era Modernisasi
Problematika umat Islam modern bukanlah problematika intern semata melainkan problematika zaman dan kemanusiaan pada masanya. Umat Islam berusaha mengaitkan semua problematika dengan landasan keislaman dan memberikan solusi sesuai norma-norma agama atau syari’at. Sedangkan untuk masalah kesetaraan beberapa analisis pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman seorang sarjana asal Pakistan yang banyak mengkaji tentang tafsir klasik, menjelaskan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah perbedaan hakiki tetapi fungsional. Superioritas laki-laki itu tidak otomatis dan absolut melainkan relatif. Tidak semua laki-laki unggul atas kaum perempuan dalam segala hal. Begitu pula sebaliknya perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki dalam hal-hal tertentu.
Eksistensi manusia ditinjau dari sudut pembebasan perempuan adalah makhluk yang berperadaban yang merdeka, bebas, independen, dan itu tidak mungkin terwujud kecuali dalam suatu masyarakat. Pola gerakan ini bertujuan merealisasi keadilan hakiki dalam komunitas dan bukan mewujudkan persamaan mustahil dan bersifat eksternal. Umumnya gerakan pembebasan kaum perempuan menuntut hak-haknya terpenuhi secara sempurna, baik hak dalam politik, hak dalam pemilihan dan hak ikut serta dalam kekuasaan atau hak dalam sosial kemasyarakatan. Semua ini guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam pembentukan masyarakat dan kemajuannya, demikianlah “tangan yang satu mengasuh bayi dan yang satunya membangun negeri”.
Namun kekhawatiran muncul ketika banyak fenomena yang merupakan pengaruh dari modernisasi yang mengedepankan berbagai macam life style ala idola yang dikagumi zaman sekarang yang mungkin pada hakikatnya tidak lebih baik dari dirinya sendiri. Dekadensi moral, bahkan banyak perangai yang menyimpang dan itu dianggap wajar. Sangat ironis ketika kita melihat acara di suatu panggung hiburan maupun media seperti televisi dll, kita menyaksikan pemandangan yang kontraris dari tabi’atnya, kaum laki-laki menggunakan busana rapi dengan kostum celana panjang dan jasnya, namun melihat kaum perempuan baik pengisi acara maupun bintang tamunya berpakaian yang tidak seharusnya, lekuk tubuh dipertontonkan sedemikian rupa, bergaun panjang dengan belahan sampai ke paha, dan seolah menjadi trendy dan bangga memperlihatkan keanggunan (menurut) mereka.
Bersyukurlah selalu ketika kita berada pada lingkungan agamis, tahu akan kode etik muslimah sejati, paham akan pentingnya menutup aurat, dan mengaplikasikan apa yang telah Islam syariatkan. Dan kini bukan lagi masalah kesetaraan, namun peningkatan kualitas pribadi seorang muslimah yang serba bisa, menjaga keharmonisan rumah tangga, bijaksana, memposisikan diri sebagai istri setia dan taat pada suami, mencetak dan mempersiapkan kader / aset generasi pemuda bangsa berkualitas, di samping bergelut dalam urusan rumah tangga dan dapur tetapi juga terus mendalami ajaran agama dan ilmu pengetahuan agar ada check and balance dalam kehidupan era globalisasi yang semakin sulit untuk dipahami. Wanita mana yang akan menjaga perangai diri, selain kita para muslimah.
DAFTAR BACAAN :
Al-Sa’dawi, Nawal, Hibah Rauf Izzat, Perempuan, Agama dan Moralitas, Antara Nalar Feminis & Islam Revivalis, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002
As-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli, Fikih Perempuan (Muslimah) ; Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, cet II, Amzah, 2005
Munhanif, Ali, Mutiara Terpendam; Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002
Supriayadi, Dedi, Fiqh Bernuansa Tasawuf Al-Ghazali ; Perpaduan Antara Syari’at Dan Hakikat, Bandung : Pustaka Setia, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar