RSS

TINGKATKAN KUALITAS SDM


Dalam upaya memajukan manusia yang ada di Indonesia tentunya sangat ditunjang dengan upaya memajukan beberapa sektor penting pendukung kemajuan tersebut. Salah satu unsur vital yang harus diupayakan adalah peningkatan kualitas atau mutu sumber daya manusia (SDM) dari segi pendidikan dan moralitas. Kualitas pendidikan perlu diperhatikan agar seseorang yang biasa menjadi seseorang yang istimewa, berpendidikan dan berpengetahuan luas, serta dapat menjadi generasi penerus bangsa yang dapat diandalkan dengan mengeluarkan gagasan – gagasan kreatif inovatif untuk kemajuan bangsa, menciptakan terobosan-terobosan baru yang bermanfaat, dan dapat bersaing di dunia Internasional.
Hal lain yang tak kalah penting adalah moralitas. Tiada kemerosotan manusia Indonesia, korupsi yang merajalela, meningkatnya tindak kriminal, kisruh politik tidak sehat akan terjadi terkecuali karena dekadensi moral. Tampaknya urgensi moralitas menempati posisi paling kuat, karena jika kemajuan tanpa dibarengi unsur ini maka kemungkinan besar segala yang diharapkan tidak akan berjalan mulus, bahkan semakin terpuruk. Oleh karena itu pendidikan moral perlu diaplikasikan oleh seluruh lapisan masyarakat dalam pencapaian tujuan yang diharapkan.
Disamping kualitas internal, sektor eksternal pun harus ada. Seperti hal nya dalam masalah ekonomi, jika segala yang akan dilakukan tidak ditunjang dengan finansial, akan sulit untuk bisa terwujud. Maka pemerintah wajib memperhatikan sektor ekonomi masyarakat, yang dapat menunjang proses kemajuan dengan mengadakan pemerataan, membumihanguskan kemiskinan, dan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah


A.    PENDAHULUAN
Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Bani Umayyah. Mereka dapat memungkinkan untuk mencapai hasil lebih banyak karena landasannya telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar dan Abasiyyah yang pertama memanfaatkannya. Penggantian Umayyah oleh Abasiyyah ini bukan sekedar penggantian dinasti, tetapi merupakan suatu revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia di dalam Sejarah Barat[1].
Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia, sehingga banyak dipengaruhi oleh peradaban bangsa Persia. Jika bani Umayyah dengan Damaskus sebagai Ibu Kotanya mementingkan kebudayaan Arab, maka bani Abbasiyah dengan memindahkan Ibu kotanya ke Baghdad telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Di samping itu, tangan kanan yang membawa Bani Abbasiyah kepada kekuasaan adalah orang-orang Persia. Dan setelah berkuasa, cendekiawan Persialah yang mereka jadikan sebagai pembesar-pembesar di istana.
Dengan naiknya kedudukan orang-orang Persia dan kemudian orang-orang Turki dalam pemerintahan bani Abbasiyah, kedudukan orang-orang Arab menurun. Masa ini bukanlah masa ekspansi daerah kekuasaan seperti pada masa Umayyah tetapi masa pembentukan kebudayaan dan peradaban Islam. Berbagai macam disiplin keilmuan meningkat pesat. Perguruan Tinggi yang didirikan pada zaman ini antara lain Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai universitas Islam yang termasyhur di seluruh dunia.
Periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan memiliki pengaruh walaupun tidak secara langsung pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini menurut Christoper Dawson, bersamaan masanya dengan abad kegelapan di Eropa. Pada abad ke-11 Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam  yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di transfer ke Eropa. Dari Islam-lah Eropa mempelajari semua ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan jika Gustave Lebon mengatakan bahwa “orang Arab-lah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”.

B.     SEJARAH BERDIRINYA DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah yang sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M). berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakaan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah[2].
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M. dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah[3] dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah dalam empat periode :
1.      Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M  sampai meninggalnya daulah khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M
2.      Masa Abbasiyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M
3.      Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H/1055 M
4.      Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M
Dalam sudut pandang lain, dikatakan bahwa perkembangan daulah Abbasiyah dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama, tahun 132-232 H dimana para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh. Semua wilayah Islam berada di tangan kekuasaan Abbasiyah terkecuali Andalusia yang ada di bawah Bani Umayyah. Kedua, tahun 232-590 H tatkala kekuasaan para khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan orang lain yakni di tangan orang-orang Turki (Atrak), Bani Buwaih dan Bani Saljuk. Ketiga, tahun 590-659 H kembalinya kekuasaan Abbasiyah di tangan mereka tetapi wilayah kekuasaannya menyempit, yaitu hanya di sekitar Baghdad saja.
C.    SISTEM PEMERINTAHAN ABBASIYAH
Kekhalifahan Bani Abbas bertumpu pada banyak sistem yang pernah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun non-muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua, Abu Ja’far Al-Mansur yang dikenal sebagai pembangun khilafah tersebut. Sedangkan sebagai pendiri Abbasiyah ialah Abul Abbas as-Shaffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim Al-Khurrasani dan memang wilayah operasional bangsa ini berada di bekas reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijaksanaan pemerintah Umayyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga negara kelas dua (kaum mawalli). Maka tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam sistem pemerintahannya. 
Bangsa Persia mempercayai adanya hak agung raja-raja yang didapat Tuhan, oleh karena itu para khalifah Abbasiyah memperoleh kekuasaan untuk mengatur negara langsung dari Allah bukan dari rakyat yang berbeda dari sistem kekhalifahan yang diterapkan oleh Khulafaurrasyidin yang dipilih oleh rakyat. Kekuasaan tertinggi mereka diletakkan pada ulama, sehingga pemerintahannya merupakan sistem teokrasi[4]. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran rakyat mencapai tingkat tertinggi.
 Setelah pemerintahan Abul Abbas (750-754 M) yang relatif sangat singkat, dilanjutkan dengan pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). dengan keras dia hadapi lawan-lawannya dari Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru di bangunnya, yaitu Baghdad. Disini Al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahn ini, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat seorang wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian disamping membenahi angkatan bersenjata.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
PARA KHALIFAH DINASTI ABBASIYAH
Sistem pengangkatan putra mahkota dalam dinasti ini, mengikuti cara Dinasti Bani Umayyah. Namun ada pemakaian gelar bagi para khalifahnya, seperti Abu Ja’far. Ia memakai gelar Al-Manshur. Para khalifah bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, mereka adalah :
NO
KHALIFAH
NO
KHALIFAH
1
Abul Abbas Ash-Shafah
20
Abul abbas Ahmad Ar-Radi
2
Abu Ja’far Al-Manshur
21
Abu Ishaq Iabrahim Al-Muttaqi
3
Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi
22
Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi
4
Abu Muhammad Musa Al-Hadi
23
Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti
5
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid
24
Abul Fadl Abdul Karim At-Thai
6
Abu Musa Muhammad Al-Amin
25
Abul Abbas Ahmad Al-Qadir
7
Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun
26
Abu Ja’far Abdullah Al-Qaim
8
Abu Ishaq Muhammad Al-Mu’tashim
27
Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi
9
Abu Ja’far harun Al-Watsiq
28
Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir
10
Abu Fadl ja’far Al-Mutawakil
29
Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid
11
Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir
30
Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid
12
Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in
31
Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi
13
Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz
32
Abul Mudzafar Al-Mustanjid
14
Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi
33
Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi
15
Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tamid
34
Abul Abbas Ahmad An-Nasir
16
Abuk Abbas Ahmad Al-Mu’tadid
35
Abu Nasr Muhammad Az-Zahir
17
Abul Muhammad Ali Al-Muktafi
36
Abu Ja’far Al-Mansur Al-mustansir
18
Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir
37
Abu Abdullah Al-Mu’tashim Billah
19
Abu Mansur Muhammad Al-Qahir



D.    PERKEMBANGAN ILMU-ILMU PENGETAHUAN
1.               Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pribadi  beberapa khalifah terutama pada masa awal Abassiah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga terpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu semua, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.[5]
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama,Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya.
 Pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456- 485 H. Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
a)      Gerakan Penerjemah
Pelopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah Al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan baik, dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyhaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa Al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyhaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerap bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
b)     Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah kelanjutan dari JandishapurAcademy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun Ar-Rasyid institusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, Al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait Al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait Al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait Al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini Al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.[6]
c)      Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang meriwayatkan Hadits tersebut.
Dalam bidang Fiqh, lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (700-767 M), seorang hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (713-795 M), Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i (767-820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya.[7]
2.               Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah :
a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari (w. 777 M), ia adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi.
b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidup pada abad ke 12 M.
d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian ahli ilmu Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (820-913 M).[8]
E.       PERKEMBANGAN EKONOMI
Dalam masa permulaan pemerintahan Abassiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abassiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan negara.
           Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah negara, bendungan- bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.
           Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik agama dan kebudayaan,  juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak khalifah Al-Mansur.[9]
           Secara umum, kendali pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara itu, dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi(hakim), dan masalah militer dipegang oleh amir.
F.     PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI-DINASTI KECIL, SEPERTI: TAHIRI, SALJUK, BUWAIHI, GAZNAWI
a.      Dinasti Tahiriah
Pendiri Dinasti Tahiriah (820-872 M) di Khurasan adalah Panglima perang Khalifah al-Makmun, Tahir Ibn Husain, dengan bermodal hanya satu mata, berjasa besar memihak al-Makmun dan memainkan peranan penting saat terjadinya perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun. Ia dan pasukannya memasuki Bagdad dan mengalahkan al-Amin.
Pada tahun 820 sebagai hadiah dan balas jasa atas dukungan Tahir dalam perang saudara, Khalifah mengangkat Tahir menjadi kepala wilayah Khurasan, yang berpusat di Merv. Atas namanya Dinasti Tahiriah dinamakan. Sesampai di sana Tahir berontak, dua tahun kemudian ia menghapuskan tradisi baca nama khalifah dalam khutbah jumat. Turunan Tahir terkenal dengan Tahiriah. Mereka memindahkan ibu kota ke Nishapur. Mereka menguasai perbatasan India, sampai 872 M.[10]
 Dengan berdirinya dinasti Thahiriah, perkembangan intelektual mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.[11]
b.      Dinasti Ghaznawi 962-1186 M
Budak-budak Turki yang telah menduduki posisi yang strategis dalam pemerintahan yang semula menjadi pengawal sultan, Alaptghin, akhirnya menjadi panglima perang. Pada tahun 961 ia diangkat menjadi penguasa Khurasan. Kemudian pindah ke timur dan mendirikan Dinasti Ghazni, Afghanistan yang merdeka. Penguasa yang paling jaya dan kuat dinasti ini adalah Sultan Mahmud Ghaznawi yang pernah menaklukkan India sebanyak 17 kali dan tiap kali ia memperoleh kemenangan yang luar biasa. Ia juga menguasai sebagian Asia Tengah dan Persia.  Seperti ia merampas Iraq, al-Ray, dan Ispaha dari Dinasti Buwaihi.
Di samping gelar Yamin al-Daulah dan Amin al-Millah dalam sejarah Islam Mahmudlah yang pertama mendapat gelar Sultan dari khalifah Abbasiyah, Qader Billah. Pada masanya banyak alim ulama dan ilmuwan kumpul di Ghazni. Dalam sejarah dinasti Turki inilah yang pertama menghilangkan pengaruh Persia dalam istana dan jaya karena kekuatan dan dinasti ini hancur, lenyap juga karena lemah dan loyo akibat penguasa yang lemah. Akhirnya dinasti besar ini terbagi dalam beberapa wilayah kekuasaan. Di timur berdiri Kesultanan Ghuri, sedang di barat laut dikuasai oleh dinasti Khan, dan Persia oleh dinasti Saljuk. Akhirnya tahun 1186 Dinasti Ghazni hilang dari peta Asia.[12]
c.       Dinasti Buwaihi
Untuk melepaskan khalifah dari hegemoni pengaruh Turki, karena tidak tahan perbuatan kasar dan sikap kasar terhadap penduduk Bagdad, maka khalifah al-Mustakfi bi Allah (944-946 M) terpaksa mengundang dan meminta bantuan kepada pemimpin Buwaihi, Ahmad ibn Abu Shuza’ yang beraliran Syi’ah. Sekte ini mundcul di Dylam, pesisir utara Laut Kaspia sekitar awal abad ke-10 M, kemudian menguasai Ispahan, Kirman, Ahwas, dan sekitarnya dengan Shiraj sebagai ibu kota.
Ahmad menyerang Baghdad (945 M) dan berhasil mengusir tentara Turki. Akhirnya mereka lari ke Baghdad. Hal ini merupakan peluang besar bagi Ahmad yang menjadikan khalifah lemah dan bonekanya. Atas namanya, dinasti ini disebut Dinasti Buwaihi.
Pendiri Buwaihi dengan mengambil gelar Mu’iz al-Daulah dari khalifah Mustakfi billah, ia memerintah sebagai wazir utama (amir al-umarra) dan mengambil kekuasan atas orang sunni. Untuk mengurangi hingga menutupi wewenang khalifah dalam pemerintahannya, Ahmad memakai gelar Sultan. Dengan mencetak mata uang atas namanya, menyebut namanya dalam khutbah Jumat Muiz manghabisi kedaulatan khalifah dengan cara ia mencukil mata khalifah menjadi buta dan mendudukan Mukti, anak khalifah Muktadir sebagai khalifah. Setelah Muiz, puteranya Iz al-Daulah berkuasa (967 M). Sejak itu, kekuasaan mutlak ada di tangan para wazir/ sultan dari Dinasti Buwaihi.
Kemajuan dalam berbagai bidang dimulai sejak periode Mu’iz, namun pada era ‘Azd al-Daulah dalam berbagai bidang terutama ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah maju pesat yang mencapai puncaknya. Daerah kekuasaannya meluas dai Ispahan sampai Siraj dan dari Laut Kaspia sampai Teluk Persia.
Pada masa Bani Buwaihi ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd al-Shufi (w 986 M), Ibn Maskawih (w 1030 M), Abu al-A’la al Ma’arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaihi juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, mesjid-mesjid, dan sejumlah bangunan lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi; pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.[13]
Setelah Mu’iz wafat (983 M) puteranya memakai gelar Shams al-Daulahdan Shams al-Millah. Terakhir dijatuhkan oleh saudaranya, Sharf al-Daulah (983-989 M). Sesudahnya ia wafat, tidak ada sultan Buwaihi yang cakap semuanya lemah. Pada masa khalifah, abad ke-25, Qadir bi Allah (991-1031 M), Dinasti Abassiah terbelah-belah dan berkeping-keping. Demikian juga masanya kekuatan Buwaihi menuju ke titik kehancuran. Dengan kelemahan mereka megundang orang Saljuk menguasai politik Bagdad pada 1055 M.[14]
d.      Dinasti Saljuk 1055-1194 M
Dalam Sejarah kekhalifahan Abbasiyah kemunculan Dinasti Saljuk sebagai suatu kekuatan Turki, berasal dari daerah antara Kirghiztan dan Bukhara. Tahun 1037 M Tughril Beg, cicit pendiri dinasti ini, Saljuk mengalahkan kekuatan Turki cabang lain, Dinasti Ghazni di Merv, kemudian menguasai hamadan, Tabaristan, Ray, Ispahan, dan lain-lain.
Pada saat itu para khalifah Abbasiyah sudah gelisah atas perlakuan amir al-umara dari Buwaihi yang puncaknya ketika Basasiri, panglima perang Sultan Baha al- Daulah mengumumkan kemerdekaan di Anbar. Kemudian mengepung khalifah Abassiah di Bagdad dalam khutbah jumat membacakan nama Khalifah Fatimiah, al-Muntansir 1035-1094 M, menggantikan khalifah, al-Qaim 1031-1075 M. Dengan permintaan Bantuan Khalifah kepada Tughril, maka ia segera memasuki Bagdad (1055 M) dan membebaskan khalifah. Dengan suka cita khalifah memberikan gelar al-Sultan al-Masyriq wa al-Magharib (penguasa Timur dan Barat) kepadanya. Atas restu Khalifah para sultan Saljuk sebenarnya memerintah secara defacto, bahkan wilayah kekuasaannya lebih luas dari pada khalifah Bagdad yang hanya berkuasa di istana saja. Sultan III, Malik Shah 1073-1092 M  berkuasa atas wilayah Kashmir di timur dan Laut Tengah di barat, di utara Georgia dan di selatan adalah Yaman.
Periode inilah kemajuan dalam ilmu pengetahuan terutama lembaga pendidikan maju pesat, paling masyhur adalah Madrasah Nizamiah, kemudian menjadi universitas Islam ternama di dunia. Pada masanya telah melahirkan banyak ilmuwan muslim di antaranya: al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.
Bukan hanya mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti Saljuk banyak meninggalkan jasa. Malik Shah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak mesjid, jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya.[15]
Setelah Malik Shah (w 1092 M), dengan lemahnya para pengganti selanjutnya wilayah raksasa Saljuk terbagi menjadi 14 kerajaan Islam, sedang kekhalifahan Abassiah sudah di ambang kehancuran, saat-saat itulah sudah muncul kekuatan raksasa baru, bangsa Mongol dipelopori oleh Chengis Khan (1162-1227 M).[16]

G.    RUNTUHNYA DINASTI ABBASIYAH
Menurut Dr. Badri yatim, M.A.,[17] diantara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.       Persaingan Antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khilafah Abbasiyah berdiri. 
b.      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang  ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.
c.       Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Konflik yang muncul menjadi isu sentra sehingga menyebabkan perpecahan. Berbagai alirn keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
d.      Perang Salib
Merupakan sebab dari eksternal umat Islam. Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
e.       Serangan Bangsa Mongol
Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah seolah hanyut dibawa sungai Tigris, setelah kota itu dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol, meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk dan pada tahun 1508 M oleh tentara kerajaan Syafawi. 
Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu. Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam dengan gemilang. 


PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Jika terdapat kesalahan baik dalam hal penulisan maupun substansi makalah, kami mohon maaf. Saran dan kritik yang membangun selalu kami harapkan agar menjadi perbaikan untuk makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

·         Amin, Samsul Munir, Sejarah peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
·         Karim, Abdul,  Islam di Asia Tengah (Sejarah Dinasti Mongol- Islam), Yogyakarta: Bagaskara, 2006
·         Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
·         Mahmudunnashir,Syed,  Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994
·         Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
·         Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010.
·         Thahir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004
·         Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000



[1] Syed Mahmudunnashir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994, hal. 246
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, hal. 139
[3] Ash-Shafah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka, Abul Abbas Ash-Shafah dikenal sebagai orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat iangatannya, keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepadda Bani Umayyah. Sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan, ia membunuh keturunan-keturunan Bani Umayyah itu. Lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid II, Jakarta : Bulan Bintang, 1981, hal. 102
[4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997, Hal.101
[5] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 174.
[6] http://kholistyo.wordpress.com/
[7] Ajid thahir,Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004 hlm 51-52.
[8] Ibid
[9] Ajid Thohir, hal 54.
[10] Abdul Karim, Islam di Asia Tengah (Sejarah Dinasti Mongol- Islam), Yogyakarta: Bagaskara, 2006, hlm 20-21.
[11]FatahSyukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010, hlm 118.
[12]Abdul Karim, Islam di Asia Tengah (Sejarah Dinasti Mongol- Islam), Yogyakarta: Bagaskara, 2006, hlm 23.
[13]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000, hlm 71.
[14]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 158.
[15]Badri Yatim, hlm 76.
[16]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 159.
[17] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 80-85

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS